Sabtu, 05 Juli 2014

Kangen Bercerita, Hari ini tentang Legowo

Saya sedang mempersiapkan sebuah tulisan yang serius, tapi ga kunjung kelar karena kelamaan mikir. haha. Namun, saya udah kangen bercerita di blog ini, rasanya ga adil kalau waktu saya begitu lama tercurah untuk tulisan yang satu itu. Baiklah, saya hanya akan menceritakan hal-hal yang ringan saja. Hal-hal printilan yang masih saya ingat di tengah kesibukan setiap individu di muka bumi, termasuk kasak kusuk di Sekdilu 38. 


Tentang Penantian
Semakin ke sini, saya semakin belajar banyak untuk menjadi seseorang yang legowo. Bukan karena di diklat saya memilih kelas 'kepribadian dan kesabaran diri' atau ikut kursus serupa di luar sana :) namun karena diklat Kemlu menawarkan banyak hal yang senantiasa membuat saya bersyukur; bersyukur karena telah menerima informasi dan ilmu yang tak terkira dan saya sukai serta berjumpa secara langsung dengan orang-orang hebat di negeri ini. Kesempatan-kesempatan seperti ini sungguh tak ternilai harganya. Ingin saya berbagi, tentang bagaimana rasanya diberi kuliah oleh Menteri Marty Natalegawa, berfoto bersama Bapak Hasjim Djalal, mendengar langsung celoteh Bapak Dino Patti Djalal, hingga para Duta Besar asing, dan pejabat tinggi dari PBB, selain kurang etis tentunya kalau ditulis satu-persatu tentunya blog ini ga akan selesai-selesai, hehe. Bagi yang mau bertanya secara langsung, silahkan..berhubung saya menyimpan catatan-catatan selama kelas yang terkait dengan hal substansi :)

Satu hal yang bisa saya gambarkan dari serangkaian pertemuan dengan orang-orang hebat di atas, kami diajarkan untuk bersabar dan menjadi pribadi yang baik kepada sesama. Mereka adalah pemuda-pemuda cupu di zamannya, seperti kita-kita ini. Berbekal keingintahuan dan pengabdian tulus, mereka berhasil melangkahi jenjang kesulitan dan tantangan dalam hidup. Siapa sangka Dubes Hasjim Djalal, pria baya yang membuat saya kagum setengah mati, adalah anak petani dari desa di Bukit Tinggi. Berkat keteguhan dan ketulusan hatinya, ia berhasil membanggakan Indonesia dalam negosiasi panjang di forum internasional. Berkait beliau, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) bisa tercapai, hingga akhirnya kita bisa punya Laut Wilayah dan menikmati otoritas di dalamnya. Atas jasa urang darek (orang pegunungan) ini, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. 

Saya bisa membayangkan Teluk Bayur yang menjadi saksi bisu kala itu, melepas lelaki kecil dari ranah minang menuju tanah Jawa. Laki-laki itu tak pernah mengeluh, tatapannya jauh menyingsing samudera Hindia menembus Afrika dan Madagaskar. Mungkin ia lupa akan bulir-bulir peluh yang membasahinya di terik panas yang merangsek ke dalam kapal. Hanya satu yang ia hujamkan, ia ingin bermakna. Pun begitu halnya dengan Bapak Marty Natalegawa, meski ia enggan membahas silam dan diri, tapi kami kagum akan kerja kerasnya menggapai karir tercepat dalam sejarah Kementerian Luar Negeri. Cita-citanya hanya satu sedari kecil, yaitu menjadi wakil negara ini di tingkat internasional. Apa yang ia harapkan pun terwujud, dan bahkan melampaui apa yang ia bayangkan. 

Saya bisa membayangkan, Marty muda disuruh-suruh mengangkat kursi sewaktu Jakarta Informal Meeting dua dekade silam di Kota Bogor pada pukul 4 pagi. Saya tentu sanggup pula turut merasa sedih, ketika diceritakan teman bahwa Marty muda memetik buah demi menyelesaikan pendidikan S3nya di negeri orang. Pun, saya turut menangis di dalam hati saat seorang anak tukang becak dibelikan jas oleh pejabat Kemlu karena tidak berduit. Lantas, siapa saya yang berhak untuk mengeluh? saya belum menjadi siapa-siapa.

Teman-teman perlu tahu, apa-apa yang dipublish, memang terlihat mewah dan menyenangkan. Namun, mengalami Sekdilu secara langsung adalah hal yang berbeda dengan sajian pengalaman yang tak terduga dan membludak :) Saya mencintai ini, mencintai realita dan tantangan, meski tak terlepas dari erangan batin yang hanya bisa dipahami oleh pribadi dalam proses pendewasaan. Sebut saja misalnya penantian, penantian panjang untuk menjadi sukses adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang saya sebutkan di atas, hanya yang sabar dan tulus lah yang mampu bertahan di tempat ini. 

Sementara kami, kami sering resah menanti hasil-hasil yang tentunya pasti akan kami petik pada waktunya. Kadang memang ketidakpastian itu membunuh, tapi lagi-lagi kami diajarkan untuk menahan diri dan berekspresi secara sopan. Lagi-lagi, meski kadang getir, tapi saya mulai mencintai kondisi ini. Legowo. Kami gelisah menanti stipend atau rapel yang agak lama turun, hal ini mengajarkan kami untuk berhemat dan menghargai dependensi pada keluarga ataupun pasangan. Kami resah menanti hasil ujian semester dua, hal ini mengajarkan kami untuk menjadi lebih baik di masa depan. Kami pernah marah menghadapi karakter-karakter baru dan unik di sini, hal ini mengajarkan kami bahwa ini hanya milieu kecil dari tantangan dan ranah global yang kami hadapi di masa depan. Legowo sepertinya mulai merasuk ke jiwa raga kami. 

Sepertinya benar apa yang dinyatakan oleh Bapak Makmur Keliat (dosen HI UI) melalui asistennya (teman saya sendiri, Agus Catur), bahwa orang-orang yang lulus seleksi Kemlu adalah orang yang bisa dibentuk. Pada awalnya saya mengernyitkan jidat, seperti apakah definisi "karakter yang bisa dibentuk"? lantas dibentuk menjadi seperti apakah? Lama-lama, proses memang selalu bisa menjawab pertanyaan orang tak berpengalaman. Saya menemukan jawaban-jawaban dari serangkaian pertanyaan saya mengenai karakter orang-orang yang dipilih di sini. Baik dengan mengamati para tokoh yang pernah menjadi dosen kami, atau dengan menatap keseharian di lingkungan diklat. Hah, saya mulai melantur, hehe. 


Tentang Masa Depan
Pernah mendengar "contract with devils"? Sekali anda menandatangani kontrak, anda tidak bisa menarik kembali poin-poin yang telah anda sepakati. Begitu pula halnya dengan bekerja menjadi PNS atau diplomat di Kemlu, kecuali jika anda resign ya, hehe. Kami selalu diwanti-wanti bahwa diplomat adalah status yang melekat pada diri pejabat diplomatik. Semuanya diatur, mulai dari berbusana di hari kerja hingga akhir pekan, bahkan hal-hal menyangkut ranah personal seperti pilihan pasangan hidup juga diatur di tempat ini. Alas, kami tidak bisa lari dari sini, ini adalah rumah kami, at least rumah baru kami. 

Am I happy with that? Pada awalnya, saya shock. Saya sempat meninggalkan pekerjaan di pemerintahan karena alasan-alasan birokratis ini, namun akhirnya saya rindu. Saya rindu untuk bekerja pada sektor publik yang selama ini menjadi passion saya (aiks!). Saya telah mendeklarasikan pilihan hati saya tepat pada saat saya diwawancarai, dan saya harus bisa mempertanggungjawabkan itu. Maka dari itu, saya harus siap menghadapi masa depan dengan segala konsekuensi-konsekuensi yang saya sadari. Lagi-lagi termasuk mengenai pasangan hidup, hehehe. 

ps. mengenai pasangan hidup, saya janji akan bahas di tulisan yang lebih serius itu :)


Waktu yang Tersisa 
Mungkin sikap legowo pula lah yang telah mengantarkan kami secara utuh memasuki semester dua di diklat Kemlu ini, yay! Saya berharap angkatan ini akan tetap utuh hingga maut memisahkan kita, amin!
Kami memiliki cara-cara sendiri untuk meredakan ketegangan, menyembuhkan kegetiran, serta menghapus kebosanan. Percayalah, hidup di asrama punya cerita masing-masing. Meski saya bukan tipikal anak yang beredar ke seluruh pelosok asrama, namun saya memiliki cerita indah di pojok terluar asrama Kemlu, yaitu Raflesia II. Di waktu yang tersisa ini, saya sadar sedalam-dalamnya, serpihan cerita di asrama yang penuh dinamika ini akan sangat dirindukan dan senantiasa dikenang hingga pensiun nanti (amin). Di waktu yang tersisa ini pula, saya semakin merindukan cerita-cerita unik dari dosen yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Mungkin langkah kaki kami mulai lunglai menuju kelas C atau kelas gabungan A&B di lantai 2 itu, tapi saya tak pernah letih menghitung hari yang tersisa dan bersiap untuk mendekap rasa rindu yang membuncah nantinya. 

Pada semester dua ini, kami telah dipertemukan dengan Duta Besar Pembina. Setiap Dubes menjadi pembina untuk tujuh anak. Kemarin, saya berjumpa dengan Dubes Pembina saya, Bapak Adian Silalahi. Hanya setengah dari porsi perbincangan kami dialokasikan untuk membahas taskap, sisanya kami lagi-lagi disodorkan cerita tentang legowo. Saya memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah Bapak bahagia menjadi diplomat?" Beliau tertawa kemudian menawarkan 7S kepada kami (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun, Sigap, dan Silalahi) sebagai jurus jitu untuk bertahan di Kemlu :). "Boleh lah kalau saya mengganti Silalahi dengan Sikumbang?", beliau tertawa menyikapi pertanyaan saya. Percakapan itu, memang hanya berlangsung di meja kecil dalam durasi 2,5 jam. Tapi, adalah legowo yang mengantarkan Dubes Adian Silalahi menuju meja itu, menjadi pembina kami dan dikenang hingga masa-masa pensiunnya. 

Di waktu yang tersisa ini, saya hanya memiliki waktu 1,5 bulan untuk menyelesaikan taskap. Sisanya, kami akan menghadapi kegiatan aplikatif, tidak di kelas lagi. Kami akan magang di Direktorat Protokol dan Konsuler di Pejambon, dan jika ada rezeki (legowo-red), kami juga akan magang di beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri. Yak, saya akan merindukan kenangan manis di Sekdilu dan menyimpan kekebalan terhadap getir sebagai bekal untuk menyongsong masa depan. 



Ramadhan hari ke-7
Depok












Kamis, 03 April 2014

Politik Uang, Menjamin Menang

 'Politik uang’ gencar dilakukan oleh partai-partai tertentu selama masa kampanye menjelang Pemilu Legislatif 2014. Politik uang dilakukan untuk meraih dukungan masyarakat dan diasumsikan menjadi katalisator perolehan suara di pemilu nanti. Selama kampanye, beberapa partai terlihat memberikan uang kepada masyarakat yang hadir serta menjanjikan pembagian sembako. Salah satu responden menyatakan bahwa ia menerima Rp 30.000 saat megnhadiri kampanye Partai Demokrat. Praktik ‘politik uang’ tentunya secara hakiki telah menodai prinsip demokrasi di negeri ini. 

                                                               ============

Praktik ‘politik uang’ telah menjadi hal yang lazim di Indoensia dan selalu gencar dijalankan menjelang Pemilu Presiden, Pemilu legislatif, maupun Pemilukada. Bentuknya pun beragam, bisa dalam bentuk uang atau berupa janji-janji bantuan barang dan uang jika kandidat tersebut terpilih di pemilu. Kenyataan ini adalah paradoks dari penyelenggaraan demokratisasi di Indonesia. Di satu sisi penyelenggaraan pemilu merupakan instrumen untuk memilih pemimpin secara demokratis, namun realita ‘politik uang’ telah menodai misi suci perwujudan kedaulatan rakyat di negara ini.
            Politik uang mengimplikasikan bahwa para calon legislatif atau pun pemimpin yang akan dipilih dalam Pemilu masih mempersepsikan aspirasi sebagai komoditi yang bisa ditukar dengan uang. Maraknya praktik politik uang juga menunjukkan bawah kandidat yang maju dalam pemilu tidak membekali diri dengan niat yang lurus untuk menduduki jabatannya. Para kandidat berkompetisi dengan uang, bukan berdasarkan track records dan kualifikasinya. Mereka memandang politik sebagai sesuatu yang komersial dan melihat pemilu sebagai langkah untuk melakukan penyelewengan kekuasaan dan korupsi di masa depan. Mentalitas seperti ini lah yang akan merusak tatanan pemerintahan kita di lima tahun ke depan. Sejauh ini, Badan Pengawal Pemilu (Bawaslu) melaporkan beberapa partai yang terbukti melakukan pelanggaran aturan terkait dengan politik uang yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Partai Demokrat, PPP, dan Hanura.

Suap Uang, Anda Menang
            Mengapa praktik buruk ini masih terjadi? Apa yang menyebabkan proses kampanye di Indonesia belum mampu merefleksikan demokrasi yang sebenarnya? Pertama, kita perlu melihat mindset dari kedua belah pihak; mindset kandidat yang maju dalam pemilu dan mindset masyarakat terhadap kandidat. Politisi yang buruk melihat pemilu sebagai kesempatan yang transaksional. ‘Saya beri anda uang, maka saya dapat suara’. Politisi semacam ini tidak memiliki kedekatan dengan constituent dan tidak memiliki basis masa di daerah pemilihan. Sehingga, satu-satunya cara pragmatis yang bisa ia tempuh untuk mendapatkan perhatian masyarakat adalah dengan memberikan uang supaya dipilih dalam pemilu. 
            Di sisi lain, praktik politik uang dipahami sebagai hal yang lumrah bagi masyarakat kita.  Survey menunjukkan, dari 1.200 orang yang diwawancarai di 10 wilayah yang berbeda diketahui 71% menilai politik uang dianggap normal. Sementara 67% responden permisif terhadap praktik ini. Saya menilai distorsi persepsi ini muncul karena faktor ekonomi. Kebanyakan pemilih berasal dari kelompok menengah ke bawah. Sehingga, kampanye dengan politik uang dianggap sebagai kesempatan yang menggiurkan untuk mendapatkan uang yang bisa dipakai sebagai pemenuhan kebutuhan pokok dalam jangka pendek.
            Dari analisis ini kita bisa melihat bahwa kesalahan berasal dari kedua belah pihak, yaitu politisi yang menjadi kandidat pemilu dan masyarakat yang permisif terhadap pelanggaran politik uang ini. Oleh karena itu, untuk membendung terjadinya pelanggaran yang lebih masif, Badan Pengawas Pemilu serta aparat penegak hukum perlu bertindak tegas untuk menghukum kandidat yang terbukti melakukan politik uang. 
   
                                                               AWASI DAN LAPORKAN!!!!

Senin, 31 Maret 2014

Minang dan Budaya Superior: Pengamatan Pribadi dalam Pernikahan Lintas Suku

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjf_q8O7AgRBIvuSEKMtU5gHkuK1X6u2nDbddUmrEssE4hyQXAGUTxjHxtYAVYR_1tff91xgQQxbrVAemLaqg5SRWkRD0ADIYkKWdAffTaoYWvVBde3x6A9l2YFSVVk48eMpT6kCqkjRr0/s1600/Objek+Wisata+Pagaruyuang.jpg
Ranah Minang
Saya tidak mau terdengar seakan dibesarkan dalam keluarga ataupun masyarakat yang etno sentris. Tapi tidak bisa dipungkiri, sedari kecil saya merasakan nuansa-nuansa superioritas budaya saya; yaitu Minangkabau. Meskipun pada dasarnya setelah dewasa saya juga menemukan internalisasi serupa di budaya lain. 

Satu internalisasi nilai budaya superior yang bersifat serta berdampak holistik terhadap pola pikir generasi Minang dan ditanamkan menghujam dalam hati dan benak saya sewaktu kecil adalah; budaya Minang itu sempurna, nilai-nilai serta normanya mengatur setiap lini dan aktivitas peradaban yang tinggi. Di tingkat ekstrim, pemahaman ini dimanifestasikan dalam persepsi bahwa budaya lain berada di bawah kami. Jangan heran, jika kita masih menemui beberapa keluarga konvensional menentang anaknya yang berniat untuk menikahi etnis lain di nusantara ini. 

Mungkin kehidupan telah beranjak modern, meletakkan budaya lain dalam lingkup inferior rasanya terlalu 'kurang ajar'. Namun sayang, sekarang Minang masih terkungkung dalam persepsi bahwa laki-laki Minang sungguh tidak baik untuk menikahi orang dari selain ranah Minang. Alasannya, tak lain dan tak bukan adalah keinginan untuk menjaga kemurnian keturunan. Sebagai salah satu dari lima etnis yang menganut sistem matrilineal di dunia ini, Minang mengatur bahwa hanya wanita yang berhak meneruskan identitas kesukuannya. Sebagai contoh, Ibu saya adalah Sikumbang, maka yang akan meneruskan suku Sikumbang ini adalah saya dan adik saya yang perempuan. Sementara itu, adik saya yang laki-laki meskipun juga bersuku Sikumbang tidak akan bisa meneruskan suku ini ke anaknya.

 Oleh karena itu, rasanya sedih sekali jika laki-laki Minang yang secara adat tidak meneruskan 'suku' nya justru menikah dengan gadis dari etnis lain. Si lelaki akan disimbolkan sebagai "Kijang Lapeh ka Rimbo" yang secara literal berarti "Kijang yang Hilang ke Belantara". Ia dianggap hilang dari garis keturunan dan dikhawatirkan tak akan pulang lagi. Hal ini bisa terlihat dalam permasalahan yang dihadapi oleh tokoh utama dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Sebagai anak dari seorang laki-laki Minang yang menikah dengan gadis non Minang, ia dicap sebagai anak tak bersuku alias tak jelas etnisnya. 

http://ws-tourism.com/wp-content/uploads/2009/05/tari_piring.jpg
Perempuan Minang sebagai penerus suku di Minangkabau

Meskipun contoh di atas bersetting klasik, namun kekhawatiran yang sama masih berakar pada zaman sekarang. Asumsi-asumsi konservatif dan nasihat kental adat akan dilontarkan oleh orang tua si laki-laki ketika anaknya hendak merantau ke tanah Jawa, seperti:

"waang jan sampai kawin lo jo padusi jawa, mambana amak. Amak nda rila kalau waang sampai takah itu doh. Beko waang nda pulang-pulang, lupo jo kampuang, lupo jo amak"
(kamu jangan sampai menikahi perempuan Jawa, Ibu mohon. Ibu tidak akan rela kalau kamu nekad begitu. Nanti kamu tidak akan bisa pulang, lupa pulang kampung, lupa dengan Ibu)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcq0QVQ6KLP9svU7oF8FtgXPLcBxCiT5rf-NVHPNFfr3nlT5Zwnr6EEkynGdQmHbSfB7i7V87qkEkVubK6UXs7IEGFMYdA9WxRA2S579FmmtPb7Gqpvb_3eFL3LAWwhYqZ8pz9QtD1G6CT/s1600/250px-Silat_Minangkabaut.png
Laki-laki Minang diajarkan Silat untuk bekal merantau
Jika diamati, kekhawatiran ini merujuk pada dua asumsi yaitu:
Pertama, si Ibu khawatir jika anaknya menikahi perempuan Jawa, maka si anak akan melupakan akar budayanya, melupakan kampung halamannya dan bahkan dalam titik ekstrim akan melupakan Ibunya. Secara subjektif, saya mengamini kekhawatiran ini. Pasalnya, menurut pengamatan saya, dari beberapa kerabat dan tetangga yang merantau ke tanah Jawa dan akhirnya mempersunting perempuan Jawa akan cenderung memiliki frekuensi yang rendah untuk pulang kampung dibandingkan dengan pasangan Minang perantauan yang tiap tahun selalu berduyun-duyun mudik ke ranah Minang. Terang saja, jika sudah berkeluarga, maka baik laki-laki maupun perempuan akan cenderung fokus pada keluarga intinya. Bagi yang menikahi perempuan asli Jawa, maka tentunya fokus aktivitas mereka akan cenderung dilaksanakan di Jawa. Sehingga, bisa dikatakan bahwa menikahi perempuan dari negeri seberang telah menjadi momok bagi orang Minang karena mereka tidak ingin kehilangan keakraban dan kedekatan dengan saudaranya yang di rantau. 

Kedua, mengapa hanya perempuan non Minang yang menjadi ancaman? di poin kedua ini saya akan sedikit mengeluarkan argumen yang bagi teman-teman etnis lain agak diskriminatif. Awalnya saya menganggap hal ini hanya terjadi di ranah Minang. Hingga akhirnya saya merasakan dan melihat perspektif lain saat duduk di bangku kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Di kelas Pengantar Ilmu Sosiologi kala itu, kami dipanggil ke depan satu per satu dari latar belakang etnis yang berbeda. Kala itu, mata kuliahnya bertemakan konstruksi sosial dan salah satu isu yang diusung adalah konstruksi adat. Pertanyaan yang diajukan oleh dosen sangat menarik. 

Ia berujar, "Untuk yang suku Jawa, kalian nanti kalau menikah mau ga dengan orang Minang atau Batak atau suku lainnya?"
Si mahasiswi menjawab ,"Tidak"
Dosen bertanya lagi, "kenapa?"
Mahasiswi menjawab lagi ,"orang tua saya maunya saya menikah dengan pria Jawa juga. Kata ortu saya, laki-laki Minang itu perhitungan, kalau orang Batak itu keras, dan kalau dengan suku lainnya (saya lupa) kemungkinan saya ga bisa pulang-pulang". 
Sontak saya tertawa. Alamaaaaaak, semua suku dimana-mana sama saja. Kami, di ranah Minang diinternalisasi oleh ancaman-ancaman halus kalau sampai menikah dengan orang dari suku lain. Eh, jangan nikah dengan orang Banten ya, katanya orang Banten santetnya kuat dan kamu pasti lupa sama leluhurmu. Ih, nikah sama orang Kalimantan? serem sekali, dukun Kalimantan kan sakti dan kau pasti akan diikat terus di rumah oleh mertuamu. 

Saya merenungi segala bentuk produk konstruksi sosial ini. Dalam tulisan ini, mungkin tak banyak kasus yang diangkat. Tapi, akibat pola pikir semacam ini, di luar sana telah banyak korban konstruksi adat yang berjatuhan. Sebut saja, salah satu teman saya hingga sekarang belum mendapat restu dari orang tuanya karena berniat melamar gadis Jawa dambaan hatinya. Jika kita berkaca kembali pada falsafah adat "Adaik Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah", maka bukan kah perlakuan adat yang dihimpun dalam persepsi negatif ini merupakan hal yang kontradiktif dengan anjuran agama untuk menyegerakan pernikahan jika kedua pihak telah sama-sama siap?

Entahlah, mungkin kita lupa. Adat pada dasarnya diciptakan oleh manusia. Manusia tentunya tak luput dari cacat persepsi dan tata pikir. Jika itu terlalu diagung-agungkan hingga menjadi prinsip absolut sebuah kebenaran, rasanya masyarakat terlalu lebay dalam menafsirkan kebenaran dan standar norma. Apalagi jika itu justru mengikis nilai kebenaran universal hak asasi pilihan atau bahkan kebenaran agama. 

Negeri ini memang menghimpun adat dan suku yang berbeda, tapi kita sama-sama pesimis menilai kedigdayaan satu sama lain. 



Renungan Nyepi, 

31 Maret 2014


Rabu, 19 Maret 2014

Goodbye Prajabatan, Welcome Sekdilu!

Sebenarnya saya sudah cukup lama membuat draft tulisan ini. Namun, berhubung jadwal Sekdilu semakin padat, maka tulisan malang ini terbengkalai dalam waktu yang lumayan panjang. hehehe. Baiklah, izinkan saya kembali menatap minggu-minggu yang sudah terlewati kemarin :)
==============================

Di asrama, kami punya Ibu dan Bapak asuh. Bapak asuh diperbantukan untuk cowo, dan Ibu asuh untuk cewe. Tentu pembagian tugas Bapak dan Ibu asuh ini sangat krusial. ya iyalah masa hal-hal menyangkut kewanitaan dibahas dengan Bapak asuh? hiiiiiiii

Ibu asuh kami bernama Ibu Endang. Dari hari pertama, Bu Endang sudah mewanti-wanti pentingnya menjaga stamina selama Prajab . 
"Kalian harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit! Kalau sakit sehari saja kalian tidak bisa lulus. Kalau tidak lulus tahun ini, tahun depan akan mengulang prajabatan selama 3 bulan!"
Alamaaaaak, hari pertama saja sudah dapat ultimatum seperti itu. Aih, bahkan ultimatum-ultimatum lainnya berlanjut hingga hari-hari berikutnya. hohoho

Tapi, kami cinta Ibu Endang. Berkat Ibu Endang lah kami akhirnya satu angkatan bisa mengikuti Diklat Prajabatan secara lengkap dan sehat. Meski ada beberapa di antara kami yang sakit-sakit ringan, ya sebut saja seperti flu dan demam, tapi Alhamdulillah pada tanggal 28 Februari 2014 seluruh peserta PDK, PKKRT, dan PK berhasil mengikuti ujian Prajabatan secara lancar dan tertib, hadir lengkap. Horeeeee!!!

Nah, lanjut ke bagian yang paling penting, yaitu ujian Prajab. Banyak yang bilang jangan terlalu serius selama Prajabatan dan ga usah belajar terlalu keras agar bisa lulus Prajabatan. Well yeah, pada dasarnya komponen utama prajab adalah kehadiran. Namun, komponen lain yang bagi saya cukup esensial adalah attitude dan keaktivan selama di kelas. Satu lagi yang penting, tolong baca seluruh modul yang diberikan oleh panitia prajabatan, baca satu-satu dan hapalkan poin-poinnya. Alamaaaaaaak, otak sudah tua ini makin susah saja menghapalkan isi modul itu. Ganbate!!!!

==============================
Kelas Sekdilu pertama kami dimulai pada tanggal 3 Maret 2014. Sudah tidak ada lagi kelas A,B,C dan teman-teman dari PKKRT yang sempat menjadi classmate selama 1 bulan Prajabatan. hiks hiks.Tinggal lah kami ber 70 yang kemudian dibagi ke dalam dua kelas yaitu A dan B.

Saya sendiri kebagian kelas B dan duduk bersebelahan dengan pria jangkung 190 cm berinisial Y. Kami yang berinisial buntut alfabet ini memang tak pernah beruntung dalam banyak hal, apakah itu pembagian beras, antrian, atau posisi tempat duduk. Saya, dengan sedih harus mendeklarasikan bahwa bangku saya berada di pojok belakang; tertutupi oleh teman satu meja yang tinggi luar biasa. Sehingga dan niscaya, acungan tangan gadis bertubuh ceking ini jarang sekali kelihatan oleh Widya Iswara di depan kelas. #fiuh!
Namun, tak apa-apa. konon, bangku ini berotasi secara berkala dan saya pun bisa muncul di waktu tertentu pada barisan terdepan. Alhamdulillah!

Kunjungan Menlu Iran ke Indonesia, precious moment
Kembali ke topik Sekdilu, hihi! Minggu pertama masih berisikan pengenalan Satuan Kerja di Kemlu. Bertemu dengan orang-orang penting di Kemlu? tentu! tak perlu lah disebutkan satu per satu :D Kemudian, minggu kedua kami pindah asrama ke BAIS Bogor. Satu minggu di sana tak bisa tergambarkan dengan kata-kata; yang jelas siap mental dan fisik itu super penting! 

Sekdilu 38: Kelas Kebijakan Ekonomi Domestik
Sekarang, saya dan teman-teman kembali ke asrama Kemlu. Rutinitas kelas dan bikin resume tiap malam akan selalu mewarnai hari-hari kami hingga 8 bulan ke depan. Keluhan-keluhan kebosanan dan gila-gilaan untuk membunuh suntuk sudah mulai didendangkan. Salah satu kegiatan yang membuat saya tertawa lepas selama di sini adalah latihan tari saman yang digagas oleh teman saya Stiffan. Rencananya kami akan perform pada Widya Karya ke Solo nanti. Tunggu cerita selanjutnya ya!!!!


Di depan Senayan City, 19 Maret 2014
Setelah Mengerjakan Resume

Sabtu, 22 Februari 2014

Welcome Aboard! Prajabatan Kemlu dan Kehidupan Baru di Asrama



 Rekan Satu Almamater

1. Asrama dan Kamar Baru
 
Saya tipikal yang sangat menikmati kesendirian di dalam kamar. Jadi, beberapa hari menjelang kepindahan ke asrama untuk 9 bulan ke depan merupakan keresehan yang cukup mengganggu tidur malam saya, hahaha lebay. 

Pada tanggal 5 Februari 2014, seluruh CPNS PDK, PKKRT, dan PK berdatangan dari berbagai penjuru nusantara. Berbekal koper jumbo dan 1 backpack, saya meluncur ke Senayan dengan taksi dari Depok. Jakarta macet, banjir mencapai puncaknya pada awal Februari kemarin. Alhasil, saya tiba di Wisma Mr. Amad Soebardjo sore menjelang maghrib (hampir melewati batas waktu yang ditentukan).

Asrama di Pusdiklat Kemlu terdiri atas beberapa bangunan. Masing-masing bangunan diberi nama bunga; anggrek dan raflesia. Saya kebagian asrama Raflesia II dengan 1 orang roomie. Ada juga kamar dengan kapasitas besar hingga 5 orang di dalamnya, plus kamar mandi dalam. Penempatan kamar sepertinya ditentukan oleh luck, haha. It's a life

Saya tidak punya ekspektasi macam-macam, yang penting punya teman sekamar yang baik dan mengerti 'keanehan2' saya selagi tidur >.< . Thank God, teman sekamar saya sejauh ini luar biasa kontributif terhadap peningkatan kedisiplinan saya, aiiiiiiih. Dia lah yang menjadi constant reminder terhadap ragam jadwal padat di asrama ini. Tuhan selalu menghadirkan orang-orang baik dalam hidup saya. hihi

Fasilitas asrama cukup memuaskan, ya layaknya sebuah rumah. Ada TV, ruang tamu, dapur dan kompor gas, kulkas, mesin cuci, jemuran, serta masing-masing kamar dilengkapi AC. Jauh lebih cukup dari kosan saya lah -_- 

Masing-masing lantai asrama punya Bapak atau Ibu RT yang ditunjuk dari salah satu penghuni. Rekan ini lah yang akan menjadi penghubung kita dengan pembina asrama. Jika ada keluhan teknis maupun keluhan lainnya (related to kehidupan di asrama), maka mengadu lah ke si Ibu RT ini. Begitu juga kalau hendak meninggalkan asrama saat akhir pekan, kita semua wajib lapor ke Ibu RT ini.

Hal lain yang tak kalah penting adalah; kerukunan antar warga asrama. Di Raflesia II, kami semuanya berjumlah 11 orang. Tentu saja, 11 orang ini memiliki karakter yang berbeda-beda dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda pula. Di sini lah dimulai kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi kita :) Meskipun baru kenal 2 minggu, kami sudah merasa seperti keluarga. Kami memiliki ruang makan serta meja makan besar. Tiap malam kami menghabiskan waktu bersama di meja ini untuk menyelesaikan tugas Prajabatan yang cukup memakan waktu. Keakraban begitu mudah tumbuh dalam kebersamaan, ya kan?

2. Prajabatan

Selama Bulan Februari ini, kami diasramakan untuk terlebih dahulu mengikuti Prajabatan. Prajabatan ini adalah serangkaian kegiatan kelas dengan durasi 12 jam pelajaran sehari selama 1 bulan penuh sebagai syarat untuk menjadi PNS. Jika tidak lulus Prajabatan, maka pengangkatan untuk menjadi PNS pun ditunda dan diwajibkan mengikuti Prajabatan lagi tahun depan. Hal yang membuat lebih seram lagi adalah, Prajabatan CPNS tahun depan akan berdurasi jauh lebih panjang, yaitu 3 bulan dengan materi yang lebih kompleks lagi. Semoga kami semua lulus tahun ini, Ya Allah...amin!

Komposisi kelas selama Prajabatan masih dicampur antara PDK dan PKKRT. Kesempatan ini tentunya sangat berharga, kita bisa mengenal lebih banyak teman dari fungsi lain yang tentunya akan bermanfaat untuk ke depannya. Materi ajar yang diberikan berupa bekal fundamental yang harus dimengerti oleh seorang PNS sebagai aparatur negara, contohnya Manajemen Kepegawaian Negara, Kepemerintahan yang Baik, Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya.

Proses pembelajaran diisi dengan diskusi, presentasi, dan tanya jawab. I know it sounds boring, but believe me kelas saya (Kelas A) adalah kelas yang kreatif. Kami rebutan untuk presentasi ke depan. Tidak hanya sekedar presentasi hasil diskusi kelompok, kami melakukan improvisasi presentasi (seperti membuat parodi, presentasi interaktif dan bahkan paduan suara dadakan) agar kelas tidak membosankan. Dang it, saya selalu ditunjuk untuk menjadi director parodi dan sempat melahirkan ide-ide gila seperti parodi pungli pengurusan surat nikah di KUA, lol. 

Kelas dimulai dari pukul 08.00 hingga 18.00. Tepar ga tuh? iya! tapi itu belum selesai, saudara-saudara. Kami juga harus membuat resume diktat minimal 4 halaman folio yang harus dikumpulkan setiap pagi menjelang kelas. Senin, Rabu, dan Jumat, harus bangun pagi untuk senam dipandu instruktur. At the end of the week, you will feel like zombie. Hahahaha. Tapi gapapa. Ini namanya perjuangan. Insentif untuk berada di sini pun juga tidak kalah baiknya, akomodasi dan segala macamnya ditanggung. Tetaplah bersyukur. Perjuangan ini belum apa-apa :)


Depok, 
Weekend di Kosan

Rabu, 19 Februari 2014

Sekdilu 38 - Cerita Seleksi CPNS Kementerian Luar Negeri (Kemlu)

Pada tahun 2013, Kementerian Luar Negeri membuka kesempatan untuk penerimaan CPNS dengan rincian jabatan dan jumlah formasi yang berbeda di masing-masingnya, yaitu:
1. Pejabat Diplomatik dan Konsuler (PDK), sejumlah 71 orang
2. Penata Keuangan dan Kerumahtanggaan Perwakilan (PKKRT), sejumlah 60 orang
3. Petugas Komunikasi (PK), sejumlah 27 orang

Untuk seleksi CPNS Kemlu 2013, jumlah formasi ini ternyata tidak rigid. Penentu utama hasil seleksi adalah standar kompetensi yang dimiliki peserta. Artinya, kuota formasi yang tertera pada lowongan di atas tidak diisi secara penuh hanya karena tuntutan formasi, tapi hanya peserta yang mampu menempuh seluruh rangkaian seleksi dan dinyatakan lulus lah yang diterima sebagai CPNS Kemlu. Untuk posisi PDK, jumlah peserta yang dinyatakan lulus adalah 66 orang (ditambah 4 peserta dari daerah khusus seperti Papua, NTT, dan Gorontalo), PKKRT 57 orang, dan PK sebanyak 13 orang.

Sebagai pelamar PDK, tentunya di sini saya hanya akan menjelaskan proses seleksi PDK yang secara garis besar terdiri atas beragam jenis tes. Simak ya :)

1. Seleksi Berkas Lamaran
Tidak ada yang lebih dibutuhkan selain ketelitian. Lakukan seperti apa yang diminta, kalau bisa cek berkali-kali sebelum mengirimkan berkas lamaran serta dokumen yang diminta. Saat itu, saya harus mengirimkan dokumen via pos (ingat, lakukan seperti yang diminta), jangan mengirim dokumen lewat jasa non pos lainnya jika yang diminta demikian. Untuk bocoran, saya biasanya meminta pihak kedua untuk membantu pengecekan kelengkapan dokumen saya. Biasanya orang lain lebih mudah menyadari kesalahan kita kan? :)

Sebagai gambaran, berikut dokumen yang perlu disiapkan dari jauh-jauh hari :


Ada juga berkas yang perlu diserahkan pada saat wawancara. Daripada repot belakangan, lebih baik diurus bersamaan dengan dokumen-dokumen di atas.


Dari 19.410 pelamar, hanya 6.650 pelamar yang dinyatakan lolos untuk mengikuti seleksi berikutnya. Fiuuuuuh! 

2. Tes Kemampuan Dasar
Pada tes ini, peserta akan menggunakan aplikasi berbasis Computer Assisted Test (CAT). Saran saya, baca-baca dan pelajari dulu apa yang dimaksud dengan sistem CAT ini. Pada dasarnya tidak begitu sulit, secara anak muda zaman sekarang tentunya sudah sangat paham menggunakan perangkat komputer. Namun, tidak ada salahnya mencari tahu supaya tidak kagok di saat ujian. Kadang, kesalahan teknis karena tidak paham mengoperasikan komputer akan membuat anda tidak lulus di seleksi yang masih sangat awal ini. Tapi tenang saja, sebelum ujian akan ada pengarahan yang sangat jelas dari panitia seleksi. Simak dengan baik! jika tidak, anda akan panik sendiri. 

Selama tes, manfaatkan waktu yang ada. Di layar komputer akan ada timer yang memperlihatkan waktu yang masih tersisa. Kerjakan soal yang anda anggap mudah dulu. Anda bisa skip soal yang susah dan kembali lagi hanya dengan mengklik nomor soal itu di layar, mudah sekali bukan? 
Selain harus pintar manajemen waktu, tentu saja anda juga harus membekali diri dengan materi ujian. Beli lah buku-buku seleksi CPNS di toko buku loak, hehe. Saya sih beli buku di toko buku di belakang Stasiun UI, harganya terjangkau dan banyak pilihan. Secara aktif dan terus menerus, bahas lah soal di buku itu dan cari sumber soal lainnya di internet. Bahas teruuuuus!!!! saya sendiri baru belajar secara optimal pada H-2 ujian, hihi (sibuk kerja-red). 

Struktur soal dibagi menjadi tiga jenis; Tes Wawasan Kebangsaan, Tes Intelijensia Umum, dan Tes Kepribadian. Untuk TWK, bacalah UUD 1945 serta Sejarah RI (harus lengkap buanget! dari zaman purbakala hingga pasca reformasi). TIU lebih rumit lagi, huh hah! saya berharap bisa kembali SMA, soal-soal yang dimunculkan adalah Matematika dan Logika SMA (perbandingan volume benda ruang, fisika kinetik, pengetahuan umum, dll). Terakhir, Tes Kepribadian merupakan pilihan hati (just be yourself), sebaiknya mulai kerjakan soal ini dulu untuk mengirit waktu (I wish I knew this before,hiks). Oh ya, jumlah peserta yang lulus TKD untuk formasi jabatan PDK adalah 3.923 orang.

3. Tes Kemampuan Bidang
Terdiri atas 90 soal pilihan ganda dan 2 soal essay dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan jumlah yang seimbang. Baca Website BBCIndonesia, TheJakartaPost, tonton berita, update informasi internasional terbaru, pelajari Kementerian Luar Negeri, dll. Kebetulan soal-soal yang muncul bisa dikatakan cukup terjangkau bagi anak-anak HI. Saya membuat ringkasan di catatan kecil yang bisa terus dibaca hingga ujian mau dimulai. Soal essay Bahasa Indonesia saya waktu itu adalah mengenai konflik Suriah serta solusinya dan essay Bahasa Inggrisnya mengenai Pemilu 2014 serta pengaruhnya terhadap proyeksi power Indonesia di dunia internasional. Input untuk essay, tekankan peran serta Indonesia dan place yourself as Indonesian Envoy. Latihan menulis essay menggunakan tema-tema HI dan isu kekinian pasti akan memudahkan kemampuan menulis teman-teman di saat tes. Pada tahap ini, jumlah peserta PDK yang dinyatakan lulus TKB berjumlah 714 orang. Semakin sedikit ya...

4. Tes Kemampuan Bahasa Asing
Ada 9 pilihan Bahasa Asing yang bisa teman-teman pilih; Bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jerman, Perancis, Rusia, Spanyol, Jepang, dan Korea. Mayoritas pelamar memilih Bahasa Inggris, termasuk saya :D
Untuk pilihan Bahasa Inggris, kami mengikuti tes EPT (hampir sama dengan TOEFL ITP) di LIA Pramuka. Meskipun kemampuan lisan saya cukup baik, grammar merupakan hal yang butuh saya asah kembali. Beli atau pinjamlah buku-buku TOEFL seperti Baron, Cliff dan lainnya. Membaca teori-teori dasar Bahasa Inggris pada H-1 (since I am a deadliner) akan membantu menyegarkan memori kita. Syarat skor minimal untuk kelulusan EPT adalah 550. Then...sebanyak 232 pelamar dinyatakan lulus untuk mengikuti rangkaian seleksi final Kemlu.

5. Seleksi Final 
Seleksi final terdiri atas rangkaian tes yang panjang dan melelahkan.

 1. Tes Psikologi tertulis
Saya tahu ini akan terdengar klise, tapi untuk siap secara optimal dalam rangka menghadapi tes psikologi , teman-teman harus beristirahat dengan cukup. Kunci utama tes ini adalah durabilitas dan optimalisasi (kerjakan tes sebisa mungkin hingga tetes darah terakhir, huks). Teman-teman akan mengikuti tes sepanjang hari penuh dari pukul 8 pagi hingga 5 sore dengan waktu istirahat yang terbatas. Untung saja semalam sebelum ujian saya sudah tidur sangat pulas. hehe

2. Wawancara Psikologi
Seleksi ini justru seleksi yang menurut saya paling menguji perasaan. Sehari setelah tes psikologi tertulis yang bikin cape minta ampun itu, esoknya saya dijadwalkan wawancara dengan seorang psikolog. Awalnya saya pikir wawancara psikologi itu gampang; tinggal jawab pertanyaan seputar kepribadian dan pengalaman saja. Namun, saya saat itu justru dipertemukan dengan psikolog yang mungkin tugasnya adalah untuk menguji emosi dan temperamen saya.
Jika teman-teman menemui tipe psikolog yang seperti ini, bertahanlah. Tujuan utama tes ini adalah untuk melihat kemampuan defensif seorang calon diplomat. Jujur saja, waktu itu saya bahkan berusaha keras untuk menahan air mata, hihi. Sementara itu, beberapa teman yang lain justru mengalami wawancara yang katanya lancar-lancar saja >.<
Saya berkesimpulan bahwa masing-masing orang memiliki karakter yang berbeda (berdasarkan hasil tes psikologi tertulis sebelumnya). Nah, para ahli psikologi dari Dinas Angkatan Darat ini akan menggunakan metode wawancara yang berbeda untuk tiap orang. Artinya, kenali lah dirimu sebaik mungkin dan berupayalah untuk mampu mengendalikan diri dan mengatasi kelemahanmu saat wawancara.

3. Wawancara Substansi
Alhamdulillah tidak semengerikan yang saya bayangkan. Syukurnya saya membekali diri dengan materi-materi substansial kekinian dan me-review kembali skripsi saya. Tiga panelis yang mewawancarai pun semuanya sangat ramah dan berwibawa. Beberapa isu yang sempat ditanyakan saat wawancara substansi adalah:

- Iran's Nuclear Talk
Isu mengenai Nuklir Iran ini muncul dari pertanyaan panelis tentang skripsi saya yang bertemakan Sanksi Ekonomi AS terhadap Iran pada Pemerintahan Obama I. Alhamdulillah sekali, pagi sebelum ujian Ibu saya menelepon dan mengingatkan isu nuklir Iran yang masih hangat dibicarakan di tingkat global ini. Thanks,Mom!
- Interfaith Issues
- Demokrasi di Indonesia (Pemilu, Pemimpin Bangsa, dan lain-lain)
- Komunitas ASEAN
- Stance Indonesia terhadap Palestina dan Taiwan
- TKI
- Wanita sebagai diplomat
- dan lain-lain
Pintar-pintar lah menyiasati jawaban jika teman-teman tidak mengetahui secara pasti jawabannya. Gunakanlah filosofi bangsa, metafora mendayung di antara dua karang, visi misi Kemlu, kutipan-kutipan dari akademisi ternama, dan segala macam upaya cerdas untuk menaklukkan hati panelis itu.
Kemampuan membaca cara berpikir dan stance panelis adalah hal yang amat penting. Misalnya ya, dalam menjawab isu Komunitas ASEAN, pada awalnya saya menggunakan perspektif Ekopolin banget. Namun, Bapaknya tidak terlihat begitu antusias. Once saya menambahkan isu keamanan, mata beliau langsung bersinar dan mulutnya ternganga, nyiahahaha. Jadilah akhirnya saya bergeser untuk fokus pada isu-isu seperti Laut Cina Selatan, isu perbatasan, syalalala. Fiuh! 

- Tes Kesehatan
Minumlah susu putih sebelum tidur untuk menetralisir racun di dalam tubuh. Teman-teman akan diminta untuk berpuasa dari jam 10 malam hingga pelaksanaan tes kesehatan keesokan harinya. Tes kesehatan terdiri dari tes darah, penyakit dalam, urin, rontgen, EKG, dan MMPI yang super duper melelahkan. Tes MMPI ini disebut juga dengan tes kerohanian yang terdiri atas 500 soal dengan dua pilihan jawaban "ya" atau "tidak". Good luck with that!!!

Dari keseluruhan rangkaian tes ini, tidak ada yang bisa diabaikan. Semua hasil tes akan diakumulasikan. Ada banyak pelamar potensial nan cerdas tidak lulus tes karena hasil tes psikologinya kurang memuaskan; bahkan di antaranya merupakan anak-anak ataupun saudara dari pejabat Kemlu. Jangan sampai jatuh karena tersandung batu yang kecil ya..jadilah yang terbaik semenjak awal. Saya yakin teman-teman bisa, hup!

Kyakyakya, akhirnya selesai juga kisah seleksi CPNS Kemlu ini. Semoga bermanfaat. Tulisan ini merupakan ungkapan terima kasih untuk senior yang juga telah menulis blog tentang kiat-kiat tes Kemlu. Harapannya, tulisan ini bisa memberi insight baru bagi teman-teman yang berniat bergabung bersama Kemlu di tahun 2014 dan seterusnya. See you in Kemlu!!!!


Raflesia II,
Pasca menulis resume Prajab Kemlu
22:04 WIB

Selasa, 18 Februari 2014

Memilih Kementerian Luar Negeri

Sejujurnya, kerja di Kementerian Luar Negeri sebagai Diplomat adalah cita-cita saya semenjak SMA. Kenapa baru semenjak SMA sih kepikiran untuk jadi diplomat? haha. Simak dulu kali ya cerita berikut ini:

Well, saya sempat muda dan tentunya sempat labil. Sebelum mengecap bangku sekolah, saya randomly ingin menjadi peragawati, hihi. Sumpah, itu cita-cita random banget dan ayah saya dengan serius menanggapinya (oh lala, he was so serious). Kemudian sewaktu kelas 1 SD, saya berkeinginan untuk menjadi pramugari. Alasannya sederhana, dalam pikiran saya menjadi pramugari itu menyenangkan karena bisa jalan-jalan ke luar negeri :) Hingga akhirnya saya juga pernah berhasrat besar untuk menjadi dokter. Kala itu, lagi-lagi ayah saya gamang; bukan karena ga sanggup membayangkan anaknya menjadi dokter, tapi khawatir akan kemampuan finansialnya untuk membiayai pendidikan dokter yang terbilang mahal untuk kocek ayah yang hanya seorang polisi biasa. Di bangku SMA, kerumitan pelajaran Biologi membuat saya menyerah untuk melanjutkan kuliah ke kedokteran. hasyaaaaah!!!! perencanaan cita-cita saya pada dasarnya tidak pernah stabil.

Masih di bangku SMA, saya berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa penuh dari Pemerintah USA dalam Program Youth Exchange and Study. Takdir juga yang mengantarkan saya untuk stay di Negara Bagian Indiana selama 1 tahun. Di kota kecil bernama North Vernon, saya menjadi satu-satunya WNI dan Muslim di pelosok itu, lol. Menjadi representatif dari Indonesia, menceritakan keragaman agama dan budaya kita, presentasi ke sana ke mari, keluar masuk gereja, mengunjungi Masjid yang jauhnya 20 mil dari rumah orang tua angkat, turut merasakan Natal bersalju, melukis telur paskah, dan bahkan hingga dituding teroris. Cerita di Indiana merupakan kompleksitas tersendiri. Tentunya, pengalaman 1 tahun ini pula yang telah berhasil menoreh harapan saya untuk menjadi diplomat atau perwakilan Indonesia di masa depan. Harapan saya besar untuk mampu merefleksikan wajah bangsa ini di negara-negara lainnya; agar bangsa ini dikenal dari wajahnya yang positif dan dinamis, supaya kita diketahui karena kebesaran dan keragaman kita. amin!

Sepulangnya dari US, saya sudah bertekad bulat untuk melanjutkan kuliah di jurusan Ilmu Hubungan Internasional UI. Ternyata oh ternyata, fakta menunjukkan bahwa 85% mahasiswa HI UI di tahun pertama murni masuk jurusan ini karena ingin jadi diplomat. Di tahun ke empat, angka ini merosot tajam bahkan hingga mencapai 5%. Pertanyaannya, apakah saya yang termasuk ke dalam 5% ini atau justru sebaliknya berada di golongan 95%?

Begini, di HI UI, pada tahun ketiga kuliah (semester 5) kita dibagi ke dalam tiga peminatan yang disebut dengan sistem peng-cluster-an. Adapun tiga cluster ini adalah: Pengkajian Strategis yang disingkat menjadi Pengstrat (Keamanan), Ekonomi Politik Internasional yang disingkat sebagai Ekopolin, dan Masyarakat Transnasional disingkat Mastrans (Isu non kenegaraan). Memilih ketiga opsi ini tidaklah begitu sulit jika kita telah memiliki preferensi yang khas di semester-semester sebelumnya. Kebanyakan yang memilih Pengstrat adalah para kaum freak yang menyukai persenjataan, perang, dan kajian-kajian aliran keras lainnya (haha, kiddding). Sementara itu, Ekopolin diisi oleh anak-anak pragmatis yang berharap setelah kelulusan di HI nantinya, dunia kerja industri nan penuh tuntutan pemahaman dinamika ekonomi akan bersedia menerima mereka (subjektif! ini pendapat saya saja). Cluster Mastrans diisi oleh kalangan jiwa-jiwa aktivis, yang mengkritisi kebijakan pemerintah, dan lulusannya kebanyakan kerja di Pusat Kajian atau NGO.

Coba tebak saya pilih cluster yang mana? well, saya pilih Ekopolin. Alasan awalnya ya alasan pragmatis, tapi pada dasarnya saya juga memang suka mempelajari Perdagangan Internasional. Makanya setelah lulus kuliah di Bulan Februari 2013 lalu, saya bekerja di Kemenko Perekonomian di bawah Kedeputian V dan setelah 6 bulan di sana, saya kemudian pindah ke Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) yang juga masih terkait dengan perdagangan internasional. Iseng-iseng nyoba seleksi CPNS pada tahun itu, saya memilih mendaftar di dua kementerian. Pilihan pertama tentunya adalah Kementerian Perdagangan (yeah, memang ini menjadi opsi utama, lagi-lagi karena berkaitan dengan perdagangan internasional). Pilihan kedua adalah Kementerian Luar Negeri.

Mengapa saya menjadikan Kemlu menjadi opsi kedua? Alasannya fundamental, saya ga yakin kalau saya akan lulus tes CPNS Kemlu tahun 2013. Saya tahu bahwa seleksinya berlapis-lapis dan susah. Idealisme saya untuk mendalami perdagangan internasional juga kebetulan masih menggebu-gebu. Jadilah akhirnya saya mengikuti serangkaian tes di kedua Kementerian ini di tengah-tengah kesibukan pekerjaan baru di ASEI. Seringkali saya izin di hari-hari kerja untuk seleksi yang coba-coba ini. Namun, Allah SWT memudahkan jalan saya hingga mampu mencapai seleksi final di kedua Kementerian ini. Keraguan saat itu juga menggelayuti hati nan rapuh ini, eeeeaaaaa. Kemlu atau Kemdag? Kemlu atau Kemdag? Udah kayak ngitung kancing baju aja :D

Mungkin Allah membukakan hati saya di seleksi akhir ini. Saya memilih Kemlu secara mantap setelah melihat proses seleksi Kemlu yang saya rasa lebih profesional, terutama pada saat wawancara panel bersama 3 orang Duta Besar nan berwibawa, tenang dan teduh (someday I wanna be like them). Jujur ya, bukan bermaksud menjelekkan Kemdag, tapi secara personal saya tidak sreg dengan metode wawancara final Kemdag yang hanya berhadapan dengan 1 interviewer dan 1 notulis. Ditambah lagi, interviewer di sana kurang mampu membuat saya tertarik dan respek terhadap pertanyaannya. Salah satu pertanyaan beliau yang saya respon dengan cadas dan mungkin ini juga yang  menjadikan saya tidak lulus adalah seperti ini:

Ibu tsb: Kamu yakin mau daftar di sini? gajinya kecil loh, masa sih mau nyoba di sini? yakin? (dengan wajah meremehkan)

Saya: Kalau ga yakin, saya ga akan daftar Bu (dengan wajah datar dan tidak takut)

setelah itu...terjadilah moment of silent. Saat itu juga, saya sudah tidak peduli lagi dengan nasib kelulusan di Kemdag. Perasaan untuk bekerja di Kemlu semakin kuat, cita-cita mulia saya untuk menjadi Duta Besar masa depan negara ini semakin kokoh. Tiap malam saya berdoa dan minta doa dari ortu serta kerabat.

Hingga, pada tanggal 31 Desember 2013, pengumuman mengharukan itu keluar. SAYA DINYATAKAN LULUS DI KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari menerima kabar gembira ini di penghujung tahun 2013, Insya Allah 2014 saya akan diwarnai hari-hari baru yang penuh petualangan di Pusat Pendidikan Kementerian Luar Negeri, amin Ya Rabb!!!




Asrama Raflesia II,
Pusdiklat Kemlu
18 Februari 2014