Jumat, 09 Maret 2018

Being a Human

Though it took me awhile to figure out what an acceptance looks like,
This year I’ve learned to accept my limit and it feels good.

Though it took a lot of courage and required certain numbness,
This year I’ve learned to negotiate and be grateful of whatever it ends like.

This year, I’ve accepted myself as a human, a vulnerable one. Not a super human, a tireless one.


This year,
Me, a human


Minggu, 11 Januari 2015

Bayangan Waktu - Sekdilu 38


Hola!

Sudah setahun (2014 ke 2015-red) ga nulis blog dan sekarang saya sudah bekerja di Pejambon #huks

Seperti yang dibilang Nathaniel Hawthorne, "time flies over us, but leaves its shadow behind", mungkin sekarang saatnya saya harus menuliskan shadow itu di sini, halah!

Meninggalkan Sekdilu
Yak, tidak terasa ya terakhir kali saya berkeluh kesah di blog ini adalah dua bulan menjelang sidang taskap. Masih saya ingat dengan jelas, saat itu kami sudah diberi waktu cukup banyak untuk fokus menulis taskap nan sakral itu. Tapi, berhubung saya adalah seorang deadliner dan nocturnal sejati, maka taskap nan sakral itu pun baru bisa tersentuh secara optimal satu minggu menjelang deadline. hihi

Lantas, ngapain aja dong menjelang sidang taskap yang penuh waktu berleha-leha itu? kami yang "menganggur" ini di deploy menjadi LO dan 'kutu kupret' pada acara United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) dan Bali Democracy Forum (BDF) di Bali. Selain dapat pengalaman yang luar biasa keren, kami juga bisa nambah uang jajan, hehe.

Kerjaan pertama semenjak masuk Kemlu. Narsis itu harus!


Selama dua bulan itu pula, kami mengikuti berbagai non class activities seperti pelatihan sidang ASEAN, workshop dengan International Organization on Migration (IOM) di Banten, Widya Karya ke Lombok, 

Jangan heran ada yang mau ke pantai pakai baju kantor :p

daaaaan saya pun sempat mengganti judul taskap di waktu yang mepet itu, Alhamdulillah pada akhirnya, taskap bisa diselesaikan dengan baik dan memuaskan.Nih buktinya :)

 
 Captionnya "My beloved Taskap and I"


oh, wait wait. Sebelum lupa, salah satu penguji sidang taskap saya adalah Bapak Makmur Keliat, Ph.D. Siapa sangka pembimbing skripsi saya nan jenius dan terkenal bisa jadi penguji taskap kejar deadline itu. Jantung sempat dag dig dug, bagaimana jika beliau kecewa? bagaimana jika beliau malu sama anak bimbingannya yang tidak memuaskan? ah ah, auk ah, yang jelas saya ingin buru-buru menyelesaikan sekdilu dengan penuh kebahagiaan, waktu itu rasanya saya sudah tidak sabar ingin lulus Sekdilu.

Hingga, muncullah petikan dialog konyol yang tak terduga ini.

Pak Adian Silalahi (moderator panelis), "Sepertinya waktu kita sudah habis, terima kasih Widya. Good job! " (ehm ehm Dubes Pembina saya was playing a good cop)

Tiba-tiba...

Pak Makmur, "Kau dulu mahasiswaku ya?", tanya beliau dengan muka polos.

Saya, "Iya, pak. bahkan saya adalah mahasiswa bimbingan bapak", muka memelas dan sedih karena telah dilupakan.

Sontak beliau ketawa tanpa rasa bersalah. Saat itu pula saya melipir keluar karena telah menjadi murid yang terlupakan.  

Sayup-sayup terdengar celotehan panelis lainnya, yaitu Bapak Lasro Simbolon, "Mahasiswa bimbingan Bapak berarti pintar-pintar ya"

Saya terbang melayang di balik pintu. hasyaaaaaah!


Note: Pak Makmur memang jenius, tapi mudah sekali lupa dengan orang lain. hiks hiks. Apalah awak yang hanya remah-remah oreo ini. 

 ==============
Saat yang membahagiakan itupun tiba, yaitu wisuda Sekdilu. yaaaay! sayangnya, wisuda tahun ini tidak boleh dihadiri oleh orang tua atau kerabat dekat dikarenakan oleh kapasitas gedung yang tidak mencukupi. hiks. Meskipun begitu, untuk membahagiakan Ibu yang sudah jauh-jauh datang dari Padang, saya bersama Ibu dan adik menyempatkan diri untuk berpose di depan Gedung Pancasila. 

 Sayangnya ada photobomb Bang Thoyib, haha


Menumpang di Pejambon
Iya, menumpang. masa? iya! hahaha, kami disuruh magang dulu di Pejambon selama 2 minggu sebelum akhirnya diberangkatkan magang ke perwakilan. Magang di Pejambon yang awalnya disepakati hanya 2 minggu ini, berujung pada perpanjangan waktu menjadi 1,5 bulan. hahaha #whatdayaexpect

But, I love it! 
Saya dan 6 orang teman yang memiliki inisial nama paling bontot di alfabet mendapatkan kesempatan untuk magang di Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika (Dirjen Aspasaf). Entah karena saya berjilbab atau memiliki wajah yang alim #huks, saya akhirnya ditempatkan oleh Ibu Sekretaris Dirjen di Direktorat Timur Tengah. 

Lulusan Sekdilu nan lugu ini kemudian digiring oleh staf Ibu Ses menuju ruangan Direktorat Timur Tengah, bersalaman dengan khalayak banyak dan diperkenalkan ke Bapak Direkturnya. Berhubung karena background saya HI, saya disuruh belajar di Subdit Politik dan Keamanan. Jadilah di hari pertama saya disuruh membuat tulisan dari A-Z mengenai Libya.Esoknya, saya diajak Kasubdit Polkam untuk mengikuti forum kecil dengan Bulan Sabit Merah Indonesia mengenai Peran Kemlu dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel. aiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih!!!!! saya cinta isu ini.

Tidak puas dengan itu, Kepala Subdit Ekonomi meminta saya untuk membantu acaranya yang akan dilaksanakan di dua kota terpisah, yaitu Middle East Update of Strategic Industries in Indonesia (MEUSINDO). MEUSINDO merupakan salah satu program kegiatan Direktorat Timur Tengah yang diselenggarakan untuk mempromosikan produk industri strategis Indonesia ke pejabat dan pelaku bisnis dari Negara-negara Arab. Melalui acara ini, industri strategis yang menjadi destinasi acara MEUSINDO juga bisa memanfaatkan kesempatan tsb untuk melakukan ekspansi pasar di Timteng atau memperoleh investasi dari negara peserta.

Menjadi bagian dari pantia MEUSINDO adalah sebuah pengalaman yang unik, saya berkesempatan mengunjungi PT.PAL di Surabaya, PT. Pindad dan PT. Dahana di Jawa Barat. Selain bisa mendapatkan informasi mendetail tentang potensi industri strategis kita yang tidak kalah hebat dari negara-negara maju, saya juga bisa mendapatkan networks yang luas dan keren-keren, seperti para Jenderal dari Arab Saudi, pebisnis dari Uni Emirat dan Tunisia, serta diplomat dari Libya #wink


Di PT. Pindad. Jangan anggap remeh, tembakan saya kena semua! #sombong






Tanpa terasa, magang di Direktorat Timur Tengah terpaksa harus diakhiri. Saya yang mulai terlena dan menikmati rutinitas kerja di Timur Tengah (newbie yang sok, hehe) merasa sedih harus meninggalkan Dir.Timteng. Tanpa pikir panjang, saya merengek-rengek agar bisa dikembalikan ke sana. 

"Pak, nanti saya direkrut di sini aja ya, please", ujar saya memelas. 

"Tenang aja, saya akan kirim surat ke Ibu Ses supaya kamu dikembalikan ke pangkuan kami", balas Kasubdit Polkam itu. #eeeaaaaaa


Kembali ke Pejambon
Sebulan di negeri orang, yaitu Kota Kinabalu Malaysia (ntar deh saya tulis cerita selama di KJRI Kota Kinabalu), akhirnya saya kembali ke Pejambon ini. Hanya saja, takdir berkata lain. Saya ditempatkan di Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri. Ah? makhluk apa itu? tenang saja, saya juga selama ini terlalu sibuk memperhatikan satuan kerja operasional di Kemlu, apalagi Dirjen Aspasaf (oh it breaks my heart to know that I am not going back there). Mungkin Tuhan ingin membantu saya kembali ke jalan yang benar melalui BPPK ini, apalagi ditempatkan bersama-sama dengan teman-teman yang pintar di angkatan :)

BPPK merupakan Badan yang menjadi pusat penggodokan kebijakan Kemlu selama ini. Berada langsung di bawah Menlu, BPPK membuat kajian terkait isu-isu internasional dan domestik terkini termasuk internal Kemlu, kemudian mengajukan rekomendasi kebijakan langsung kepada Ibu Menteri. Bukankah BPPK keren? #maksa

BPPK memiliki 3 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, yaitu Asia Pasifik dan Afrika (Aspasaf), Amerika dan Eropa (Amerop), dan Organisasi Internasional (OI). Meski sempat berharap akan ditempatkan di Aspasaf karena belum move on dari Timur Tengah, saya justru ditakdirkan di OI (garuk-garuk kepala takut akan tetot). Apa daya, mungkin karena skripsi dan taskap saya berkaitan ama sanksi ekonomi terhadap Iran (maksa banget kalo saya paham tentang PBB dan regulasinya T.T)

Hari pertama dipertemukan dengan Kepala BPPK, Bapak Darmansjah Djumala, saya dan 4 teman lain yang super keren dan rajin menulis itu dimotivasi untuk melaksanakan budaya BTO. Whaaat is that??? ternyata BTO adalah singkatan dari Baca, Tulis, dan Omong. Baiklah, pak! saatnya saya akan mulai meraup kesempatan di BPPK untuk bisa menjadi insan yang mulai rajin lagi (kayak pernah aja). Selama ini saya sudah berleha-leha dan menonton terlalu banyak serial TV Amerika dan mencintai berbicara ketimbang menulis. Oleh karena itu, sekarang saya akan membulatkan tekad untuk berusaha mengejar ketertinggalan ketajaman akademis saya, hahaha #sokserius

Oke, demikian dulu ya. Maaf blog kali ini agak nyampah dan isinya cuma cerita dan sangat self-center . Ya, mau gimana ya, ini kan blog saya. hahaha, peace!


 Depok, 

Sore nan panas









Sabtu, 05 Juli 2014

Kangen Bercerita, Hari ini tentang Legowo

Saya sedang mempersiapkan sebuah tulisan yang serius, tapi ga kunjung kelar karena kelamaan mikir. haha. Namun, saya udah kangen bercerita di blog ini, rasanya ga adil kalau waktu saya begitu lama tercurah untuk tulisan yang satu itu. Baiklah, saya hanya akan menceritakan hal-hal yang ringan saja. Hal-hal printilan yang masih saya ingat di tengah kesibukan setiap individu di muka bumi, termasuk kasak kusuk di Sekdilu 38. 


Tentang Penantian
Semakin ke sini, saya semakin belajar banyak untuk menjadi seseorang yang legowo. Bukan karena di diklat saya memilih kelas 'kepribadian dan kesabaran diri' atau ikut kursus serupa di luar sana :) namun karena diklat Kemlu menawarkan banyak hal yang senantiasa membuat saya bersyukur; bersyukur karena telah menerima informasi dan ilmu yang tak terkira dan saya sukai serta berjumpa secara langsung dengan orang-orang hebat di negeri ini. Kesempatan-kesempatan seperti ini sungguh tak ternilai harganya. Ingin saya berbagi, tentang bagaimana rasanya diberi kuliah oleh Menteri Marty Natalegawa, berfoto bersama Bapak Hasjim Djalal, mendengar langsung celoteh Bapak Dino Patti Djalal, hingga para Duta Besar asing, dan pejabat tinggi dari PBB, selain kurang etis tentunya kalau ditulis satu-persatu tentunya blog ini ga akan selesai-selesai, hehe. Bagi yang mau bertanya secara langsung, silahkan..berhubung saya menyimpan catatan-catatan selama kelas yang terkait dengan hal substansi :)

Satu hal yang bisa saya gambarkan dari serangkaian pertemuan dengan orang-orang hebat di atas, kami diajarkan untuk bersabar dan menjadi pribadi yang baik kepada sesama. Mereka adalah pemuda-pemuda cupu di zamannya, seperti kita-kita ini. Berbekal keingintahuan dan pengabdian tulus, mereka berhasil melangkahi jenjang kesulitan dan tantangan dalam hidup. Siapa sangka Dubes Hasjim Djalal, pria baya yang membuat saya kagum setengah mati, adalah anak petani dari desa di Bukit Tinggi. Berkat keteguhan dan ketulusan hatinya, ia berhasil membanggakan Indonesia dalam negosiasi panjang di forum internasional. Berkait beliau, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) bisa tercapai, hingga akhirnya kita bisa punya Laut Wilayah dan menikmati otoritas di dalamnya. Atas jasa urang darek (orang pegunungan) ini, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. 

Saya bisa membayangkan Teluk Bayur yang menjadi saksi bisu kala itu, melepas lelaki kecil dari ranah minang menuju tanah Jawa. Laki-laki itu tak pernah mengeluh, tatapannya jauh menyingsing samudera Hindia menembus Afrika dan Madagaskar. Mungkin ia lupa akan bulir-bulir peluh yang membasahinya di terik panas yang merangsek ke dalam kapal. Hanya satu yang ia hujamkan, ia ingin bermakna. Pun begitu halnya dengan Bapak Marty Natalegawa, meski ia enggan membahas silam dan diri, tapi kami kagum akan kerja kerasnya menggapai karir tercepat dalam sejarah Kementerian Luar Negeri. Cita-citanya hanya satu sedari kecil, yaitu menjadi wakil negara ini di tingkat internasional. Apa yang ia harapkan pun terwujud, dan bahkan melampaui apa yang ia bayangkan. 

Saya bisa membayangkan, Marty muda disuruh-suruh mengangkat kursi sewaktu Jakarta Informal Meeting dua dekade silam di Kota Bogor pada pukul 4 pagi. Saya tentu sanggup pula turut merasa sedih, ketika diceritakan teman bahwa Marty muda memetik buah demi menyelesaikan pendidikan S3nya di negeri orang. Pun, saya turut menangis di dalam hati saat seorang anak tukang becak dibelikan jas oleh pejabat Kemlu karena tidak berduit. Lantas, siapa saya yang berhak untuk mengeluh? saya belum menjadi siapa-siapa.

Teman-teman perlu tahu, apa-apa yang dipublish, memang terlihat mewah dan menyenangkan. Namun, mengalami Sekdilu secara langsung adalah hal yang berbeda dengan sajian pengalaman yang tak terduga dan membludak :) Saya mencintai ini, mencintai realita dan tantangan, meski tak terlepas dari erangan batin yang hanya bisa dipahami oleh pribadi dalam proses pendewasaan. Sebut saja misalnya penantian, penantian panjang untuk menjadi sukses adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang saya sebutkan di atas, hanya yang sabar dan tulus lah yang mampu bertahan di tempat ini. 

Sementara kami, kami sering resah menanti hasil-hasil yang tentunya pasti akan kami petik pada waktunya. Kadang memang ketidakpastian itu membunuh, tapi lagi-lagi kami diajarkan untuk menahan diri dan berekspresi secara sopan. Lagi-lagi, meski kadang getir, tapi saya mulai mencintai kondisi ini. Legowo. Kami gelisah menanti stipend atau rapel yang agak lama turun, hal ini mengajarkan kami untuk berhemat dan menghargai dependensi pada keluarga ataupun pasangan. Kami resah menanti hasil ujian semester dua, hal ini mengajarkan kami untuk menjadi lebih baik di masa depan. Kami pernah marah menghadapi karakter-karakter baru dan unik di sini, hal ini mengajarkan kami bahwa ini hanya milieu kecil dari tantangan dan ranah global yang kami hadapi di masa depan. Legowo sepertinya mulai merasuk ke jiwa raga kami. 

Sepertinya benar apa yang dinyatakan oleh Bapak Makmur Keliat (dosen HI UI) melalui asistennya (teman saya sendiri, Agus Catur), bahwa orang-orang yang lulus seleksi Kemlu adalah orang yang bisa dibentuk. Pada awalnya saya mengernyitkan jidat, seperti apakah definisi "karakter yang bisa dibentuk"? lantas dibentuk menjadi seperti apakah? Lama-lama, proses memang selalu bisa menjawab pertanyaan orang tak berpengalaman. Saya menemukan jawaban-jawaban dari serangkaian pertanyaan saya mengenai karakter orang-orang yang dipilih di sini. Baik dengan mengamati para tokoh yang pernah menjadi dosen kami, atau dengan menatap keseharian di lingkungan diklat. Hah, saya mulai melantur, hehe. 


Tentang Masa Depan
Pernah mendengar "contract with devils"? Sekali anda menandatangani kontrak, anda tidak bisa menarik kembali poin-poin yang telah anda sepakati. Begitu pula halnya dengan bekerja menjadi PNS atau diplomat di Kemlu, kecuali jika anda resign ya, hehe. Kami selalu diwanti-wanti bahwa diplomat adalah status yang melekat pada diri pejabat diplomatik. Semuanya diatur, mulai dari berbusana di hari kerja hingga akhir pekan, bahkan hal-hal menyangkut ranah personal seperti pilihan pasangan hidup juga diatur di tempat ini. Alas, kami tidak bisa lari dari sini, ini adalah rumah kami, at least rumah baru kami. 

Am I happy with that? Pada awalnya, saya shock. Saya sempat meninggalkan pekerjaan di pemerintahan karena alasan-alasan birokratis ini, namun akhirnya saya rindu. Saya rindu untuk bekerja pada sektor publik yang selama ini menjadi passion saya (aiks!). Saya telah mendeklarasikan pilihan hati saya tepat pada saat saya diwawancarai, dan saya harus bisa mempertanggungjawabkan itu. Maka dari itu, saya harus siap menghadapi masa depan dengan segala konsekuensi-konsekuensi yang saya sadari. Lagi-lagi termasuk mengenai pasangan hidup, hehehe. 

ps. mengenai pasangan hidup, saya janji akan bahas di tulisan yang lebih serius itu :)


Waktu yang Tersisa 
Mungkin sikap legowo pula lah yang telah mengantarkan kami secara utuh memasuki semester dua di diklat Kemlu ini, yay! Saya berharap angkatan ini akan tetap utuh hingga maut memisahkan kita, amin!
Kami memiliki cara-cara sendiri untuk meredakan ketegangan, menyembuhkan kegetiran, serta menghapus kebosanan. Percayalah, hidup di asrama punya cerita masing-masing. Meski saya bukan tipikal anak yang beredar ke seluruh pelosok asrama, namun saya memiliki cerita indah di pojok terluar asrama Kemlu, yaitu Raflesia II. Di waktu yang tersisa ini, saya sadar sedalam-dalamnya, serpihan cerita di asrama yang penuh dinamika ini akan sangat dirindukan dan senantiasa dikenang hingga pensiun nanti (amin). Di waktu yang tersisa ini pula, saya semakin merindukan cerita-cerita unik dari dosen yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Mungkin langkah kaki kami mulai lunglai menuju kelas C atau kelas gabungan A&B di lantai 2 itu, tapi saya tak pernah letih menghitung hari yang tersisa dan bersiap untuk mendekap rasa rindu yang membuncah nantinya. 

Pada semester dua ini, kami telah dipertemukan dengan Duta Besar Pembina. Setiap Dubes menjadi pembina untuk tujuh anak. Kemarin, saya berjumpa dengan Dubes Pembina saya, Bapak Adian Silalahi. Hanya setengah dari porsi perbincangan kami dialokasikan untuk membahas taskap, sisanya kami lagi-lagi disodorkan cerita tentang legowo. Saya memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah Bapak bahagia menjadi diplomat?" Beliau tertawa kemudian menawarkan 7S kepada kami (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun, Sigap, dan Silalahi) sebagai jurus jitu untuk bertahan di Kemlu :). "Boleh lah kalau saya mengganti Silalahi dengan Sikumbang?", beliau tertawa menyikapi pertanyaan saya. Percakapan itu, memang hanya berlangsung di meja kecil dalam durasi 2,5 jam. Tapi, adalah legowo yang mengantarkan Dubes Adian Silalahi menuju meja itu, menjadi pembina kami dan dikenang hingga masa-masa pensiunnya. 

Di waktu yang tersisa ini, saya hanya memiliki waktu 1,5 bulan untuk menyelesaikan taskap. Sisanya, kami akan menghadapi kegiatan aplikatif, tidak di kelas lagi. Kami akan magang di Direktorat Protokol dan Konsuler di Pejambon, dan jika ada rezeki (legowo-red), kami juga akan magang di beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri. Yak, saya akan merindukan kenangan manis di Sekdilu dan menyimpan kekebalan terhadap getir sebagai bekal untuk menyongsong masa depan. 



Ramadhan hari ke-7
Depok












Kamis, 03 April 2014

Politik Uang, Menjamin Menang

 'Politik uang’ gencar dilakukan oleh partai-partai tertentu selama masa kampanye menjelang Pemilu Legislatif 2014. Politik uang dilakukan untuk meraih dukungan masyarakat dan diasumsikan menjadi katalisator perolehan suara di pemilu nanti. Selama kampanye, beberapa partai terlihat memberikan uang kepada masyarakat yang hadir serta menjanjikan pembagian sembako. Salah satu responden menyatakan bahwa ia menerima Rp 30.000 saat megnhadiri kampanye Partai Demokrat. Praktik ‘politik uang’ tentunya secara hakiki telah menodai prinsip demokrasi di negeri ini. 

                                                               ============

Praktik ‘politik uang’ telah menjadi hal yang lazim di Indoensia dan selalu gencar dijalankan menjelang Pemilu Presiden, Pemilu legislatif, maupun Pemilukada. Bentuknya pun beragam, bisa dalam bentuk uang atau berupa janji-janji bantuan barang dan uang jika kandidat tersebut terpilih di pemilu. Kenyataan ini adalah paradoks dari penyelenggaraan demokratisasi di Indonesia. Di satu sisi penyelenggaraan pemilu merupakan instrumen untuk memilih pemimpin secara demokratis, namun realita ‘politik uang’ telah menodai misi suci perwujudan kedaulatan rakyat di negara ini.
            Politik uang mengimplikasikan bahwa para calon legislatif atau pun pemimpin yang akan dipilih dalam Pemilu masih mempersepsikan aspirasi sebagai komoditi yang bisa ditukar dengan uang. Maraknya praktik politik uang juga menunjukkan bawah kandidat yang maju dalam pemilu tidak membekali diri dengan niat yang lurus untuk menduduki jabatannya. Para kandidat berkompetisi dengan uang, bukan berdasarkan track records dan kualifikasinya. Mereka memandang politik sebagai sesuatu yang komersial dan melihat pemilu sebagai langkah untuk melakukan penyelewengan kekuasaan dan korupsi di masa depan. Mentalitas seperti ini lah yang akan merusak tatanan pemerintahan kita di lima tahun ke depan. Sejauh ini, Badan Pengawal Pemilu (Bawaslu) melaporkan beberapa partai yang terbukti melakukan pelanggaran aturan terkait dengan politik uang yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Partai Demokrat, PPP, dan Hanura.

Suap Uang, Anda Menang
            Mengapa praktik buruk ini masih terjadi? Apa yang menyebabkan proses kampanye di Indonesia belum mampu merefleksikan demokrasi yang sebenarnya? Pertama, kita perlu melihat mindset dari kedua belah pihak; mindset kandidat yang maju dalam pemilu dan mindset masyarakat terhadap kandidat. Politisi yang buruk melihat pemilu sebagai kesempatan yang transaksional. ‘Saya beri anda uang, maka saya dapat suara’. Politisi semacam ini tidak memiliki kedekatan dengan constituent dan tidak memiliki basis masa di daerah pemilihan. Sehingga, satu-satunya cara pragmatis yang bisa ia tempuh untuk mendapatkan perhatian masyarakat adalah dengan memberikan uang supaya dipilih dalam pemilu. 
            Di sisi lain, praktik politik uang dipahami sebagai hal yang lumrah bagi masyarakat kita.  Survey menunjukkan, dari 1.200 orang yang diwawancarai di 10 wilayah yang berbeda diketahui 71% menilai politik uang dianggap normal. Sementara 67% responden permisif terhadap praktik ini. Saya menilai distorsi persepsi ini muncul karena faktor ekonomi. Kebanyakan pemilih berasal dari kelompok menengah ke bawah. Sehingga, kampanye dengan politik uang dianggap sebagai kesempatan yang menggiurkan untuk mendapatkan uang yang bisa dipakai sebagai pemenuhan kebutuhan pokok dalam jangka pendek.
            Dari analisis ini kita bisa melihat bahwa kesalahan berasal dari kedua belah pihak, yaitu politisi yang menjadi kandidat pemilu dan masyarakat yang permisif terhadap pelanggaran politik uang ini. Oleh karena itu, untuk membendung terjadinya pelanggaran yang lebih masif, Badan Pengawas Pemilu serta aparat penegak hukum perlu bertindak tegas untuk menghukum kandidat yang terbukti melakukan politik uang. 
   
                                                               AWASI DAN LAPORKAN!!!!

Senin, 31 Maret 2014

Minang dan Budaya Superior: Pengamatan Pribadi dalam Pernikahan Lintas Suku

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjf_q8O7AgRBIvuSEKMtU5gHkuK1X6u2nDbddUmrEssE4hyQXAGUTxjHxtYAVYR_1tff91xgQQxbrVAemLaqg5SRWkRD0ADIYkKWdAffTaoYWvVBde3x6A9l2YFSVVk48eMpT6kCqkjRr0/s1600/Objek+Wisata+Pagaruyuang.jpg
Ranah Minang
Saya tidak mau terdengar seakan dibesarkan dalam keluarga ataupun masyarakat yang etno sentris. Tapi tidak bisa dipungkiri, sedari kecil saya merasakan nuansa-nuansa superioritas budaya saya; yaitu Minangkabau. Meskipun pada dasarnya setelah dewasa saya juga menemukan internalisasi serupa di budaya lain. 

Satu internalisasi nilai budaya superior yang bersifat serta berdampak holistik terhadap pola pikir generasi Minang dan ditanamkan menghujam dalam hati dan benak saya sewaktu kecil adalah; budaya Minang itu sempurna, nilai-nilai serta normanya mengatur setiap lini dan aktivitas peradaban yang tinggi. Di tingkat ekstrim, pemahaman ini dimanifestasikan dalam persepsi bahwa budaya lain berada di bawah kami. Jangan heran, jika kita masih menemui beberapa keluarga konvensional menentang anaknya yang berniat untuk menikahi etnis lain di nusantara ini. 

Mungkin kehidupan telah beranjak modern, meletakkan budaya lain dalam lingkup inferior rasanya terlalu 'kurang ajar'. Namun sayang, sekarang Minang masih terkungkung dalam persepsi bahwa laki-laki Minang sungguh tidak baik untuk menikahi orang dari selain ranah Minang. Alasannya, tak lain dan tak bukan adalah keinginan untuk menjaga kemurnian keturunan. Sebagai salah satu dari lima etnis yang menganut sistem matrilineal di dunia ini, Minang mengatur bahwa hanya wanita yang berhak meneruskan identitas kesukuannya. Sebagai contoh, Ibu saya adalah Sikumbang, maka yang akan meneruskan suku Sikumbang ini adalah saya dan adik saya yang perempuan. Sementara itu, adik saya yang laki-laki meskipun juga bersuku Sikumbang tidak akan bisa meneruskan suku ini ke anaknya.

 Oleh karena itu, rasanya sedih sekali jika laki-laki Minang yang secara adat tidak meneruskan 'suku' nya justru menikah dengan gadis dari etnis lain. Si lelaki akan disimbolkan sebagai "Kijang Lapeh ka Rimbo" yang secara literal berarti "Kijang yang Hilang ke Belantara". Ia dianggap hilang dari garis keturunan dan dikhawatirkan tak akan pulang lagi. Hal ini bisa terlihat dalam permasalahan yang dihadapi oleh tokoh utama dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Sebagai anak dari seorang laki-laki Minang yang menikah dengan gadis non Minang, ia dicap sebagai anak tak bersuku alias tak jelas etnisnya. 

http://ws-tourism.com/wp-content/uploads/2009/05/tari_piring.jpg
Perempuan Minang sebagai penerus suku di Minangkabau

Meskipun contoh di atas bersetting klasik, namun kekhawatiran yang sama masih berakar pada zaman sekarang. Asumsi-asumsi konservatif dan nasihat kental adat akan dilontarkan oleh orang tua si laki-laki ketika anaknya hendak merantau ke tanah Jawa, seperti:

"waang jan sampai kawin lo jo padusi jawa, mambana amak. Amak nda rila kalau waang sampai takah itu doh. Beko waang nda pulang-pulang, lupo jo kampuang, lupo jo amak"
(kamu jangan sampai menikahi perempuan Jawa, Ibu mohon. Ibu tidak akan rela kalau kamu nekad begitu. Nanti kamu tidak akan bisa pulang, lupa pulang kampung, lupa dengan Ibu)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcq0QVQ6KLP9svU7oF8FtgXPLcBxCiT5rf-NVHPNFfr3nlT5Zwnr6EEkynGdQmHbSfB7i7V87qkEkVubK6UXs7IEGFMYdA9WxRA2S579FmmtPb7Gqpvb_3eFL3LAWwhYqZ8pz9QtD1G6CT/s1600/250px-Silat_Minangkabaut.png
Laki-laki Minang diajarkan Silat untuk bekal merantau
Jika diamati, kekhawatiran ini merujuk pada dua asumsi yaitu:
Pertama, si Ibu khawatir jika anaknya menikahi perempuan Jawa, maka si anak akan melupakan akar budayanya, melupakan kampung halamannya dan bahkan dalam titik ekstrim akan melupakan Ibunya. Secara subjektif, saya mengamini kekhawatiran ini. Pasalnya, menurut pengamatan saya, dari beberapa kerabat dan tetangga yang merantau ke tanah Jawa dan akhirnya mempersunting perempuan Jawa akan cenderung memiliki frekuensi yang rendah untuk pulang kampung dibandingkan dengan pasangan Minang perantauan yang tiap tahun selalu berduyun-duyun mudik ke ranah Minang. Terang saja, jika sudah berkeluarga, maka baik laki-laki maupun perempuan akan cenderung fokus pada keluarga intinya. Bagi yang menikahi perempuan asli Jawa, maka tentunya fokus aktivitas mereka akan cenderung dilaksanakan di Jawa. Sehingga, bisa dikatakan bahwa menikahi perempuan dari negeri seberang telah menjadi momok bagi orang Minang karena mereka tidak ingin kehilangan keakraban dan kedekatan dengan saudaranya yang di rantau. 

Kedua, mengapa hanya perempuan non Minang yang menjadi ancaman? di poin kedua ini saya akan sedikit mengeluarkan argumen yang bagi teman-teman etnis lain agak diskriminatif. Awalnya saya menganggap hal ini hanya terjadi di ranah Minang. Hingga akhirnya saya merasakan dan melihat perspektif lain saat duduk di bangku kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Di kelas Pengantar Ilmu Sosiologi kala itu, kami dipanggil ke depan satu per satu dari latar belakang etnis yang berbeda. Kala itu, mata kuliahnya bertemakan konstruksi sosial dan salah satu isu yang diusung adalah konstruksi adat. Pertanyaan yang diajukan oleh dosen sangat menarik. 

Ia berujar, "Untuk yang suku Jawa, kalian nanti kalau menikah mau ga dengan orang Minang atau Batak atau suku lainnya?"
Si mahasiswi menjawab ,"Tidak"
Dosen bertanya lagi, "kenapa?"
Mahasiswi menjawab lagi ,"orang tua saya maunya saya menikah dengan pria Jawa juga. Kata ortu saya, laki-laki Minang itu perhitungan, kalau orang Batak itu keras, dan kalau dengan suku lainnya (saya lupa) kemungkinan saya ga bisa pulang-pulang". 
Sontak saya tertawa. Alamaaaaaak, semua suku dimana-mana sama saja. Kami, di ranah Minang diinternalisasi oleh ancaman-ancaman halus kalau sampai menikah dengan orang dari suku lain. Eh, jangan nikah dengan orang Banten ya, katanya orang Banten santetnya kuat dan kamu pasti lupa sama leluhurmu. Ih, nikah sama orang Kalimantan? serem sekali, dukun Kalimantan kan sakti dan kau pasti akan diikat terus di rumah oleh mertuamu. 

Saya merenungi segala bentuk produk konstruksi sosial ini. Dalam tulisan ini, mungkin tak banyak kasus yang diangkat. Tapi, akibat pola pikir semacam ini, di luar sana telah banyak korban konstruksi adat yang berjatuhan. Sebut saja, salah satu teman saya hingga sekarang belum mendapat restu dari orang tuanya karena berniat melamar gadis Jawa dambaan hatinya. Jika kita berkaca kembali pada falsafah adat "Adaik Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah", maka bukan kah perlakuan adat yang dihimpun dalam persepsi negatif ini merupakan hal yang kontradiktif dengan anjuran agama untuk menyegerakan pernikahan jika kedua pihak telah sama-sama siap?

Entahlah, mungkin kita lupa. Adat pada dasarnya diciptakan oleh manusia. Manusia tentunya tak luput dari cacat persepsi dan tata pikir. Jika itu terlalu diagung-agungkan hingga menjadi prinsip absolut sebuah kebenaran, rasanya masyarakat terlalu lebay dalam menafsirkan kebenaran dan standar norma. Apalagi jika itu justru mengikis nilai kebenaran universal hak asasi pilihan atau bahkan kebenaran agama. 

Negeri ini memang menghimpun adat dan suku yang berbeda, tapi kita sama-sama pesimis menilai kedigdayaan satu sama lain. 



Renungan Nyepi, 

31 Maret 2014


Rabu, 19 Maret 2014

Goodbye Prajabatan, Welcome Sekdilu!

Sebenarnya saya sudah cukup lama membuat draft tulisan ini. Namun, berhubung jadwal Sekdilu semakin padat, maka tulisan malang ini terbengkalai dalam waktu yang lumayan panjang. hehehe. Baiklah, izinkan saya kembali menatap minggu-minggu yang sudah terlewati kemarin :)
==============================

Di asrama, kami punya Ibu dan Bapak asuh. Bapak asuh diperbantukan untuk cowo, dan Ibu asuh untuk cewe. Tentu pembagian tugas Bapak dan Ibu asuh ini sangat krusial. ya iyalah masa hal-hal menyangkut kewanitaan dibahas dengan Bapak asuh? hiiiiiiii

Ibu asuh kami bernama Ibu Endang. Dari hari pertama, Bu Endang sudah mewanti-wanti pentingnya menjaga stamina selama Prajab . 
"Kalian harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit! Kalau sakit sehari saja kalian tidak bisa lulus. Kalau tidak lulus tahun ini, tahun depan akan mengulang prajabatan selama 3 bulan!"
Alamaaaaak, hari pertama saja sudah dapat ultimatum seperti itu. Aih, bahkan ultimatum-ultimatum lainnya berlanjut hingga hari-hari berikutnya. hohoho

Tapi, kami cinta Ibu Endang. Berkat Ibu Endang lah kami akhirnya satu angkatan bisa mengikuti Diklat Prajabatan secara lengkap dan sehat. Meski ada beberapa di antara kami yang sakit-sakit ringan, ya sebut saja seperti flu dan demam, tapi Alhamdulillah pada tanggal 28 Februari 2014 seluruh peserta PDK, PKKRT, dan PK berhasil mengikuti ujian Prajabatan secara lancar dan tertib, hadir lengkap. Horeeeee!!!

Nah, lanjut ke bagian yang paling penting, yaitu ujian Prajab. Banyak yang bilang jangan terlalu serius selama Prajabatan dan ga usah belajar terlalu keras agar bisa lulus Prajabatan. Well yeah, pada dasarnya komponen utama prajab adalah kehadiran. Namun, komponen lain yang bagi saya cukup esensial adalah attitude dan keaktivan selama di kelas. Satu lagi yang penting, tolong baca seluruh modul yang diberikan oleh panitia prajabatan, baca satu-satu dan hapalkan poin-poinnya. Alamaaaaaaak, otak sudah tua ini makin susah saja menghapalkan isi modul itu. Ganbate!!!!

==============================
Kelas Sekdilu pertama kami dimulai pada tanggal 3 Maret 2014. Sudah tidak ada lagi kelas A,B,C dan teman-teman dari PKKRT yang sempat menjadi classmate selama 1 bulan Prajabatan. hiks hiks.Tinggal lah kami ber 70 yang kemudian dibagi ke dalam dua kelas yaitu A dan B.

Saya sendiri kebagian kelas B dan duduk bersebelahan dengan pria jangkung 190 cm berinisial Y. Kami yang berinisial buntut alfabet ini memang tak pernah beruntung dalam banyak hal, apakah itu pembagian beras, antrian, atau posisi tempat duduk. Saya, dengan sedih harus mendeklarasikan bahwa bangku saya berada di pojok belakang; tertutupi oleh teman satu meja yang tinggi luar biasa. Sehingga dan niscaya, acungan tangan gadis bertubuh ceking ini jarang sekali kelihatan oleh Widya Iswara di depan kelas. #fiuh!
Namun, tak apa-apa. konon, bangku ini berotasi secara berkala dan saya pun bisa muncul di waktu tertentu pada barisan terdepan. Alhamdulillah!

Kunjungan Menlu Iran ke Indonesia, precious moment
Kembali ke topik Sekdilu, hihi! Minggu pertama masih berisikan pengenalan Satuan Kerja di Kemlu. Bertemu dengan orang-orang penting di Kemlu? tentu! tak perlu lah disebutkan satu per satu :D Kemudian, minggu kedua kami pindah asrama ke BAIS Bogor. Satu minggu di sana tak bisa tergambarkan dengan kata-kata; yang jelas siap mental dan fisik itu super penting! 

Sekdilu 38: Kelas Kebijakan Ekonomi Domestik
Sekarang, saya dan teman-teman kembali ke asrama Kemlu. Rutinitas kelas dan bikin resume tiap malam akan selalu mewarnai hari-hari kami hingga 8 bulan ke depan. Keluhan-keluhan kebosanan dan gila-gilaan untuk membunuh suntuk sudah mulai didendangkan. Salah satu kegiatan yang membuat saya tertawa lepas selama di sini adalah latihan tari saman yang digagas oleh teman saya Stiffan. Rencananya kami akan perform pada Widya Karya ke Solo nanti. Tunggu cerita selanjutnya ya!!!!


Di depan Senayan City, 19 Maret 2014
Setelah Mengerjakan Resume

Sabtu, 22 Februari 2014

Welcome Aboard! Prajabatan Kemlu dan Kehidupan Baru di Asrama



 Rekan Satu Almamater

1. Asrama dan Kamar Baru
 
Saya tipikal yang sangat menikmati kesendirian di dalam kamar. Jadi, beberapa hari menjelang kepindahan ke asrama untuk 9 bulan ke depan merupakan keresehan yang cukup mengganggu tidur malam saya, hahaha lebay. 

Pada tanggal 5 Februari 2014, seluruh CPNS PDK, PKKRT, dan PK berdatangan dari berbagai penjuru nusantara. Berbekal koper jumbo dan 1 backpack, saya meluncur ke Senayan dengan taksi dari Depok. Jakarta macet, banjir mencapai puncaknya pada awal Februari kemarin. Alhasil, saya tiba di Wisma Mr. Amad Soebardjo sore menjelang maghrib (hampir melewati batas waktu yang ditentukan).

Asrama di Pusdiklat Kemlu terdiri atas beberapa bangunan. Masing-masing bangunan diberi nama bunga; anggrek dan raflesia. Saya kebagian asrama Raflesia II dengan 1 orang roomie. Ada juga kamar dengan kapasitas besar hingga 5 orang di dalamnya, plus kamar mandi dalam. Penempatan kamar sepertinya ditentukan oleh luck, haha. It's a life

Saya tidak punya ekspektasi macam-macam, yang penting punya teman sekamar yang baik dan mengerti 'keanehan2' saya selagi tidur >.< . Thank God, teman sekamar saya sejauh ini luar biasa kontributif terhadap peningkatan kedisiplinan saya, aiiiiiiih. Dia lah yang menjadi constant reminder terhadap ragam jadwal padat di asrama ini. Tuhan selalu menghadirkan orang-orang baik dalam hidup saya. hihi

Fasilitas asrama cukup memuaskan, ya layaknya sebuah rumah. Ada TV, ruang tamu, dapur dan kompor gas, kulkas, mesin cuci, jemuran, serta masing-masing kamar dilengkapi AC. Jauh lebih cukup dari kosan saya lah -_- 

Masing-masing lantai asrama punya Bapak atau Ibu RT yang ditunjuk dari salah satu penghuni. Rekan ini lah yang akan menjadi penghubung kita dengan pembina asrama. Jika ada keluhan teknis maupun keluhan lainnya (related to kehidupan di asrama), maka mengadu lah ke si Ibu RT ini. Begitu juga kalau hendak meninggalkan asrama saat akhir pekan, kita semua wajib lapor ke Ibu RT ini.

Hal lain yang tak kalah penting adalah; kerukunan antar warga asrama. Di Raflesia II, kami semuanya berjumlah 11 orang. Tentu saja, 11 orang ini memiliki karakter yang berbeda-beda dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda pula. Di sini lah dimulai kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi kita :) Meskipun baru kenal 2 minggu, kami sudah merasa seperti keluarga. Kami memiliki ruang makan serta meja makan besar. Tiap malam kami menghabiskan waktu bersama di meja ini untuk menyelesaikan tugas Prajabatan yang cukup memakan waktu. Keakraban begitu mudah tumbuh dalam kebersamaan, ya kan?

2. Prajabatan

Selama Bulan Februari ini, kami diasramakan untuk terlebih dahulu mengikuti Prajabatan. Prajabatan ini adalah serangkaian kegiatan kelas dengan durasi 12 jam pelajaran sehari selama 1 bulan penuh sebagai syarat untuk menjadi PNS. Jika tidak lulus Prajabatan, maka pengangkatan untuk menjadi PNS pun ditunda dan diwajibkan mengikuti Prajabatan lagi tahun depan. Hal yang membuat lebih seram lagi adalah, Prajabatan CPNS tahun depan akan berdurasi jauh lebih panjang, yaitu 3 bulan dengan materi yang lebih kompleks lagi. Semoga kami semua lulus tahun ini, Ya Allah...amin!

Komposisi kelas selama Prajabatan masih dicampur antara PDK dan PKKRT. Kesempatan ini tentunya sangat berharga, kita bisa mengenal lebih banyak teman dari fungsi lain yang tentunya akan bermanfaat untuk ke depannya. Materi ajar yang diberikan berupa bekal fundamental yang harus dimengerti oleh seorang PNS sebagai aparatur negara, contohnya Manajemen Kepegawaian Negara, Kepemerintahan yang Baik, Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya.

Proses pembelajaran diisi dengan diskusi, presentasi, dan tanya jawab. I know it sounds boring, but believe me kelas saya (Kelas A) adalah kelas yang kreatif. Kami rebutan untuk presentasi ke depan. Tidak hanya sekedar presentasi hasil diskusi kelompok, kami melakukan improvisasi presentasi (seperti membuat parodi, presentasi interaktif dan bahkan paduan suara dadakan) agar kelas tidak membosankan. Dang it, saya selalu ditunjuk untuk menjadi director parodi dan sempat melahirkan ide-ide gila seperti parodi pungli pengurusan surat nikah di KUA, lol. 

Kelas dimulai dari pukul 08.00 hingga 18.00. Tepar ga tuh? iya! tapi itu belum selesai, saudara-saudara. Kami juga harus membuat resume diktat minimal 4 halaman folio yang harus dikumpulkan setiap pagi menjelang kelas. Senin, Rabu, dan Jumat, harus bangun pagi untuk senam dipandu instruktur. At the end of the week, you will feel like zombie. Hahahaha. Tapi gapapa. Ini namanya perjuangan. Insentif untuk berada di sini pun juga tidak kalah baiknya, akomodasi dan segala macamnya ditanggung. Tetaplah bersyukur. Perjuangan ini belum apa-apa :)


Depok, 
Weekend di Kosan