Kamis, 16 Januari 2014

Cerita Buku Agenda Awak

Postingan terakhir saya beneran nestapa ya. haha
Maklum, saya juga pernah  muda, pernah durjana, dan tentunya tak lepas dari sedu sedan harapan dunia nan fana. apa deh

oke oke, saya akui bahwa blog ini jarang terjamah. Mungkin karena saya lebih cenderung menjamah yang lain? #whoot? tapi beneran deh, saya suka menjamah dan meraba yang lain (please jangan bergidik!)

Ini ajaran sakti dari ayah saya. Dari kecil, saya diajarkan untuk menulis apa pun yang saya pikirkan di sebuah 'buku agenda'.  ya, kira-kira begitulah sebutannya; buku agenda. Sampulnya keras, terbuat dari kulit, di halaman pertamanya ada format identitas diri nan super formal, lol. Trus di belakangnya ada kalender, daftar nomor telepon, daftar rumah sakit, daftar restauran, daftar syalalala. Pada hakikatnya, ga ada satupun yang saya lirik. Perhatian saya langsung tertuju pada halaman-halaman kosong di belakangnya.

langsung deh tangan mungil ini menulis lincah. Tapi, catet ya, ternyata saya ga nulis apa yang saya "pikirkan", justru saya menorehkan apa yang saya "rasakan". oh lala!!! jadi diary deh..

Nah, tulisan kali ini mau membeberkan beberapa insiden terkait dengan buku agenda saya mulai dari SD bahkan sampai saya lulus kuliah dan kerja!!!! diary membawa petaka, atau petakan mengundang diary? pilih deh, biar jadi judul film.

Pertama, waktu SD. pernah ga sih notice sesuatu bahwa anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya dan anak laki-laki dekat dengan ibunya? ya, itu yang saya rasakan. saya bisa dikatakan berteman akrab dengan ayah saya. Sementara, bagi saya Ibu tidak boleh berada di lingkaran aliansi (pardon me, Mom). Alasannya simpel, Ibu itu banyak aturan dan tiap saat teriak-teriak (hiperbolik)

"Yaaaaa, rambutnya diikat!!!"
"Yaaaaaaa, sapu rumah! cuci piring! cuci baju!"
"Yaaaaaaa, ada si ini si itu datang, sambut dengan baik!"
"Yaaaaa, aaaaaaaaarrrrrghhhhhh"

Orang Minang bakal bilang ,"Ondeh Mak, panek awak!"

Nah, berbagai keluh kesah dan perasaan tertekan sebagai anak kecil nan disuruh-suruh terus kemudian saya limpahkan dalam buku agenda saya itu (lebaaaay). Maklum ya, anak kecil, kemarahannya pun polos. Kata-katanya pun diambil dari cuplikan-cuplikan sinetron dan anak-anak tak tahu malu di sekitar rumahnya. Jadi lah, agenda saya korban kata-kata ga enak, parahnya tentang Ibu saya. Astaghfirullah...

Woh, ceritanya belum selesai nih. Dikarenakan agenda ini bersifat rahasia dan berpotensi mengancam peace terms dengan ortu saya sendiri, saya simpan tuh agenda baik-baik di balik baju di dalam lemari. Niat hati untuk menyembunyikan ternyata tak kesampaian. Entah apa yang dilakukan Mak saya mengobok-ngobok lemari awak. Mungkin beliau abis setrika baju dan merapikan lemari. Ketemulah si buku agenda nan tak berdosa itu. Kyaaaaaaaaaaaaaa

Saya ga dimarahi, dan saya pun sebenarnya belum nyadar bahwa beliau telah menemukan buku itu. Saya mungkin baru tahu saat mau nulis lagi. Terlihatlah ada halaman yang robek, hilang, daaaaaaaaaaan halaman itu adalah tulisan saya tentang beliau. #serem #takut #matiawak


Kedua, kejadian ini waktu saya baru saja masuk SMP. Sebenarnya saya ga sekolah di SMP sih, tepatnya di sekolah pendidikan menengah Islam yang disebut Madrasah Tsanawiyah Model Padusunan Pariaman (aih, lengkap!). Kenapa dibilang model? well, beberapa orang tentunya dari sekolah lain mengolok-ngolok kalo sekolah saya isinya model semua, muahahaha. Alasan sebenarnya adalah karena sekolah kami ini dijadikan sekolah percontohan untuk SMP Islam lainnya; maklum cuma 3 sekolah Model yang ada di Sumatera Barat.

Eits, ceritanya bukan tentang sekolah saya yang dianggap teladan ini. Justru, karena murid teladannya ini (huks) yang kemudian berbuat sesuatu yang memalukan. Lagi-lagi karena buku agenda, dang it!!!
Saya pernah kesal sama seseorang, seseorang yang saya anggap kompetitor (menggelitik). Masa-masa remaja dulu itu emang dramatis ya. Anyway, jadi intinya buku agenda saya lagi-lagi menjadi tempat curhat hati saya nan labil kala itu. Saya marah-marah di sana dan banyak yang harus disensor kata-katanya. Ya ampuuuuuun, saya khawatir nih jangan-jangan waktu kecil dulu saya punya kepribadian ganda (amit-amit!)

Kebetulan, saya bawa tuh buku agenda saat orientasi sekolah. Di saat orang-orang mengeluarkan buku sekolah merk Bintang Obor, eh saya justru nulis-nulis keterangan guru di buku agenda yang ciamik itu. Jadi berasa keren sendiri. eh eh, justru itu...itu yang menarik perhatian guru saya yang kepo itu (aks, pardon me, Buk). Kepo nya beliau cukup akut. Beliau 'pinjam' buku saya itu, beliau buka satu-satu halamannya. Di saat itu, saya bete minta ampun. Tiba-tiba tangannya berhenti di satu halaman, di halaman yang mencurigakan. Halaman yang bertuliskan huruf besar-besar, banyak tanda seru, dan garis-garis tulisan yang penuh tekanan (ih, kok kesannya saya dulu psiko gitu). Singkat kata, I WAS BUSTED!!!

Saya dipanggil ke ruang guru dan diajak ngobrol berdua dengan beliau. Entah apa yang dipikirkan beliau waktu itu. Tapi yang jelas (menurut saya sekarang), itu adalah hak saya untuk mencurahkan apa pun di teritori pribadi saya, selagi tidak menyakiti orang lain.

Ketiga, semasa SMA. Mungkin bagian ini tidak terlalu menarik. Buku Agenda saya sudah sedikit berubah. Saya ganti dengan Diary yang lebih girly; ada warna pink (bahkan produsennya menamainya "Diary Cinta"), kemudian diary ungu saya yang kemudian dihiasi oleh teman saya dengan lukisan indah. Saya berangkat ke AS mengikuti pertukaran pelajar selama satu tahun, dua diary ini saya tinggal di rumah. Saya mungkin telah memberi keleluasaan untuk Mak saya (yang juga kepo) membaca isi-isi diary ini. hasyah!!!! kesimpulannya, dia Mak saya, dia sudah tahu segalanya tentang saya. titik. 

Selama di AS, saya juga menulis satu buku penuh tentang hari-hari di sana. Hingga sekarang, diary ini menjadi penyegar ingatan tentang detil-detil yang saya lakukan di sana, maklum otak saya sekarang mulai pelupa parah. Don't trust me to remind something details!

Nah, peristiwa keempat. Akhirnya saya melanjutkan pendidikan tinggi. Saya kuliah di Depok di jurusan Hubungan Internasional UI. Kerjaan saya di kuliah membuat saya jarang menyentuh buku agenda lagi. tapi saya membawa semua buku agenda saya ke Depok, ke setiap kontrakan baru, ditenteng ke sana-ke sini. hihi

Buku Agenda saya digantikan dengan catatan lain di komputer. tulisan tangan saya sudah tidak serapi dulu lagi. jari-jari saya di tuts komputer sepertinya lebih cepat bergerak daripada di atas kertas. Fakta yang menyedihkan. Sejujurnya, menulis catatan harian di komputer sungguh sangat beresiko. Risiko kehilangan data cukup tinggi. Saya kehilangan catatan harian selama tahun 2011 dalam sekejap. Artinya, saya juga kehilangan kenangan detail pada tahun itu. Sedih.

Kelima, kejadian memilukan ini terjadi setelah saya memasuki dunia kerja. Kesialan di cerita pertama hingga ke empat tidak ada tandingannya dibandingkan peristiwa terakhir ini. Tercatat, 7 November 2013. Saya secara resmi meninggalkan Depok dan pindah ke Mampang Prapatan. Demi lebih dekat ke tempat kerja, saya merelakan untuk berpisah dengan serpihan kenangan di Depok yang sudah 4 tahun saya rajut #eeeeaaaaaa . Beneran loh, saya cinta Depok amat sangat. Tepatnya bukan Depok sih, tapi kawasan Margonda saja, kalo udah sampai ngebahas Sawangan, Pancoran Mas, Beji, atau apalah, saya ga mudeng!

ok ok, saya pindahan dengan menyewa angkot tengah malam (si Abangnya baru bisa disewa setelah selesai narik). Bersama geng Pariaman (Alfi, Aryono) dan Ka Phasla, akhirnya kami berangkat tengah malam itu juga ke Mampang. tiba-tiba di tengah jalan, hujan deras mengguyur Jakarta. oh maaaaaaan, kenapa harus hujan??? nyesek!, soalnya kosan saya yang di Mampang itu tidak bisa dilalui oleh mobil. Angkot ini harus berhenti sekitar 100m dari kosan dan kami harus bolak-balik bawa barang ke kamar kos saya (yang letaknya di lantai 2 dan harus melewati tangga spiral terjal, lengkap sudah penderitaan malam itu).

Dingin-dingin, basah-basahan, trus ngangkat barang-barang berat, apa lagi yang lebih sial dari itu? (lebay) Saya semakin mencintai teman-teman saya #terharu
Nah, karena ga sanggup bawa banyak kardus sekaligus, saya tarok tuh satu kardus di dekat tangga rumah orang biar nanti bisa langsung diangkut lagi. balik dari kosan, saya mau ambil lagi kardus tadi. ternyata eh ternyata, kardus saya sudah lenyap! di tong sampah dekat tangga tersebut, saya temukan serpihan-serpihan buku agenda saya, tinggal sampul saja. Dunia serasa ambruk, langit runtuh, saya nangis. Usut punya usut, itu ulah pemulung yang berkeliaran tengah malam itu, dia ngincer kertas-kertas doang, obrak-abrik kardus saya dan ngebuang hal-hal yang dia anggap ga perlu. Dia merobek dan melucuti semua buku agenda saya hingga tak bernilai.

Nanar, saya cari tuh pemulung dalam hujan dan gelapnya gang perkampungan di Mampang Prapatan. Saya kalut. Tapi pupus.

Hingga sekarang, saya masih ga rela tuh pemulung mengebiri buku diary saya. Dia telah merenggut masa lalu saya, hiks hiks
Ini foto sampul-sampul Buku Agenda alias Diary saya yang tersisa. nangis guling-guling.




Good bye my diaries,
Tak pernah lupa


Depok
16 Januari 2014