Kamis, 03 April 2014

Politik Uang, Menjamin Menang

 'Politik uang’ gencar dilakukan oleh partai-partai tertentu selama masa kampanye menjelang Pemilu Legislatif 2014. Politik uang dilakukan untuk meraih dukungan masyarakat dan diasumsikan menjadi katalisator perolehan suara di pemilu nanti. Selama kampanye, beberapa partai terlihat memberikan uang kepada masyarakat yang hadir serta menjanjikan pembagian sembako. Salah satu responden menyatakan bahwa ia menerima Rp 30.000 saat megnhadiri kampanye Partai Demokrat. Praktik ‘politik uang’ tentunya secara hakiki telah menodai prinsip demokrasi di negeri ini. 

                                                               ============

Praktik ‘politik uang’ telah menjadi hal yang lazim di Indoensia dan selalu gencar dijalankan menjelang Pemilu Presiden, Pemilu legislatif, maupun Pemilukada. Bentuknya pun beragam, bisa dalam bentuk uang atau berupa janji-janji bantuan barang dan uang jika kandidat tersebut terpilih di pemilu. Kenyataan ini adalah paradoks dari penyelenggaraan demokratisasi di Indonesia. Di satu sisi penyelenggaraan pemilu merupakan instrumen untuk memilih pemimpin secara demokratis, namun realita ‘politik uang’ telah menodai misi suci perwujudan kedaulatan rakyat di negara ini.
            Politik uang mengimplikasikan bahwa para calon legislatif atau pun pemimpin yang akan dipilih dalam Pemilu masih mempersepsikan aspirasi sebagai komoditi yang bisa ditukar dengan uang. Maraknya praktik politik uang juga menunjukkan bawah kandidat yang maju dalam pemilu tidak membekali diri dengan niat yang lurus untuk menduduki jabatannya. Para kandidat berkompetisi dengan uang, bukan berdasarkan track records dan kualifikasinya. Mereka memandang politik sebagai sesuatu yang komersial dan melihat pemilu sebagai langkah untuk melakukan penyelewengan kekuasaan dan korupsi di masa depan. Mentalitas seperti ini lah yang akan merusak tatanan pemerintahan kita di lima tahun ke depan. Sejauh ini, Badan Pengawal Pemilu (Bawaslu) melaporkan beberapa partai yang terbukti melakukan pelanggaran aturan terkait dengan politik uang yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Partai Demokrat, PPP, dan Hanura.

Suap Uang, Anda Menang
            Mengapa praktik buruk ini masih terjadi? Apa yang menyebabkan proses kampanye di Indonesia belum mampu merefleksikan demokrasi yang sebenarnya? Pertama, kita perlu melihat mindset dari kedua belah pihak; mindset kandidat yang maju dalam pemilu dan mindset masyarakat terhadap kandidat. Politisi yang buruk melihat pemilu sebagai kesempatan yang transaksional. ‘Saya beri anda uang, maka saya dapat suara’. Politisi semacam ini tidak memiliki kedekatan dengan constituent dan tidak memiliki basis masa di daerah pemilihan. Sehingga, satu-satunya cara pragmatis yang bisa ia tempuh untuk mendapatkan perhatian masyarakat adalah dengan memberikan uang supaya dipilih dalam pemilu. 
            Di sisi lain, praktik politik uang dipahami sebagai hal yang lumrah bagi masyarakat kita.  Survey menunjukkan, dari 1.200 orang yang diwawancarai di 10 wilayah yang berbeda diketahui 71% menilai politik uang dianggap normal. Sementara 67% responden permisif terhadap praktik ini. Saya menilai distorsi persepsi ini muncul karena faktor ekonomi. Kebanyakan pemilih berasal dari kelompok menengah ke bawah. Sehingga, kampanye dengan politik uang dianggap sebagai kesempatan yang menggiurkan untuk mendapatkan uang yang bisa dipakai sebagai pemenuhan kebutuhan pokok dalam jangka pendek.
            Dari analisis ini kita bisa melihat bahwa kesalahan berasal dari kedua belah pihak, yaitu politisi yang menjadi kandidat pemilu dan masyarakat yang permisif terhadap pelanggaran politik uang ini. Oleh karena itu, untuk membendung terjadinya pelanggaran yang lebih masif, Badan Pengawas Pemilu serta aparat penegak hukum perlu bertindak tegas untuk menghukum kandidat yang terbukti melakukan politik uang. 
   
                                                               AWASI DAN LAPORKAN!!!!