Senin, 31 Maret 2014

Minang dan Budaya Superior: Pengamatan Pribadi dalam Pernikahan Lintas Suku

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjf_q8O7AgRBIvuSEKMtU5gHkuK1X6u2nDbddUmrEssE4hyQXAGUTxjHxtYAVYR_1tff91xgQQxbrVAemLaqg5SRWkRD0ADIYkKWdAffTaoYWvVBde3x6A9l2YFSVVk48eMpT6kCqkjRr0/s1600/Objek+Wisata+Pagaruyuang.jpg
Ranah Minang
Saya tidak mau terdengar seakan dibesarkan dalam keluarga ataupun masyarakat yang etno sentris. Tapi tidak bisa dipungkiri, sedari kecil saya merasakan nuansa-nuansa superioritas budaya saya; yaitu Minangkabau. Meskipun pada dasarnya setelah dewasa saya juga menemukan internalisasi serupa di budaya lain. 

Satu internalisasi nilai budaya superior yang bersifat serta berdampak holistik terhadap pola pikir generasi Minang dan ditanamkan menghujam dalam hati dan benak saya sewaktu kecil adalah; budaya Minang itu sempurna, nilai-nilai serta normanya mengatur setiap lini dan aktivitas peradaban yang tinggi. Di tingkat ekstrim, pemahaman ini dimanifestasikan dalam persepsi bahwa budaya lain berada di bawah kami. Jangan heran, jika kita masih menemui beberapa keluarga konvensional menentang anaknya yang berniat untuk menikahi etnis lain di nusantara ini. 

Mungkin kehidupan telah beranjak modern, meletakkan budaya lain dalam lingkup inferior rasanya terlalu 'kurang ajar'. Namun sayang, sekarang Minang masih terkungkung dalam persepsi bahwa laki-laki Minang sungguh tidak baik untuk menikahi orang dari selain ranah Minang. Alasannya, tak lain dan tak bukan adalah keinginan untuk menjaga kemurnian keturunan. Sebagai salah satu dari lima etnis yang menganut sistem matrilineal di dunia ini, Minang mengatur bahwa hanya wanita yang berhak meneruskan identitas kesukuannya. Sebagai contoh, Ibu saya adalah Sikumbang, maka yang akan meneruskan suku Sikumbang ini adalah saya dan adik saya yang perempuan. Sementara itu, adik saya yang laki-laki meskipun juga bersuku Sikumbang tidak akan bisa meneruskan suku ini ke anaknya.

 Oleh karena itu, rasanya sedih sekali jika laki-laki Minang yang secara adat tidak meneruskan 'suku' nya justru menikah dengan gadis dari etnis lain. Si lelaki akan disimbolkan sebagai "Kijang Lapeh ka Rimbo" yang secara literal berarti "Kijang yang Hilang ke Belantara". Ia dianggap hilang dari garis keturunan dan dikhawatirkan tak akan pulang lagi. Hal ini bisa terlihat dalam permasalahan yang dihadapi oleh tokoh utama dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Sebagai anak dari seorang laki-laki Minang yang menikah dengan gadis non Minang, ia dicap sebagai anak tak bersuku alias tak jelas etnisnya. 

http://ws-tourism.com/wp-content/uploads/2009/05/tari_piring.jpg
Perempuan Minang sebagai penerus suku di Minangkabau

Meskipun contoh di atas bersetting klasik, namun kekhawatiran yang sama masih berakar pada zaman sekarang. Asumsi-asumsi konservatif dan nasihat kental adat akan dilontarkan oleh orang tua si laki-laki ketika anaknya hendak merantau ke tanah Jawa, seperti:

"waang jan sampai kawin lo jo padusi jawa, mambana amak. Amak nda rila kalau waang sampai takah itu doh. Beko waang nda pulang-pulang, lupo jo kampuang, lupo jo amak"
(kamu jangan sampai menikahi perempuan Jawa, Ibu mohon. Ibu tidak akan rela kalau kamu nekad begitu. Nanti kamu tidak akan bisa pulang, lupa pulang kampung, lupa dengan Ibu)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcq0QVQ6KLP9svU7oF8FtgXPLcBxCiT5rf-NVHPNFfr3nlT5Zwnr6EEkynGdQmHbSfB7i7V87qkEkVubK6UXs7IEGFMYdA9WxRA2S579FmmtPb7Gqpvb_3eFL3LAWwhYqZ8pz9QtD1G6CT/s1600/250px-Silat_Minangkabaut.png
Laki-laki Minang diajarkan Silat untuk bekal merantau
Jika diamati, kekhawatiran ini merujuk pada dua asumsi yaitu:
Pertama, si Ibu khawatir jika anaknya menikahi perempuan Jawa, maka si anak akan melupakan akar budayanya, melupakan kampung halamannya dan bahkan dalam titik ekstrim akan melupakan Ibunya. Secara subjektif, saya mengamini kekhawatiran ini. Pasalnya, menurut pengamatan saya, dari beberapa kerabat dan tetangga yang merantau ke tanah Jawa dan akhirnya mempersunting perempuan Jawa akan cenderung memiliki frekuensi yang rendah untuk pulang kampung dibandingkan dengan pasangan Minang perantauan yang tiap tahun selalu berduyun-duyun mudik ke ranah Minang. Terang saja, jika sudah berkeluarga, maka baik laki-laki maupun perempuan akan cenderung fokus pada keluarga intinya. Bagi yang menikahi perempuan asli Jawa, maka tentunya fokus aktivitas mereka akan cenderung dilaksanakan di Jawa. Sehingga, bisa dikatakan bahwa menikahi perempuan dari negeri seberang telah menjadi momok bagi orang Minang karena mereka tidak ingin kehilangan keakraban dan kedekatan dengan saudaranya yang di rantau. 

Kedua, mengapa hanya perempuan non Minang yang menjadi ancaman? di poin kedua ini saya akan sedikit mengeluarkan argumen yang bagi teman-teman etnis lain agak diskriminatif. Awalnya saya menganggap hal ini hanya terjadi di ranah Minang. Hingga akhirnya saya merasakan dan melihat perspektif lain saat duduk di bangku kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Di kelas Pengantar Ilmu Sosiologi kala itu, kami dipanggil ke depan satu per satu dari latar belakang etnis yang berbeda. Kala itu, mata kuliahnya bertemakan konstruksi sosial dan salah satu isu yang diusung adalah konstruksi adat. Pertanyaan yang diajukan oleh dosen sangat menarik. 

Ia berujar, "Untuk yang suku Jawa, kalian nanti kalau menikah mau ga dengan orang Minang atau Batak atau suku lainnya?"
Si mahasiswi menjawab ,"Tidak"
Dosen bertanya lagi, "kenapa?"
Mahasiswi menjawab lagi ,"orang tua saya maunya saya menikah dengan pria Jawa juga. Kata ortu saya, laki-laki Minang itu perhitungan, kalau orang Batak itu keras, dan kalau dengan suku lainnya (saya lupa) kemungkinan saya ga bisa pulang-pulang". 
Sontak saya tertawa. Alamaaaaaak, semua suku dimana-mana sama saja. Kami, di ranah Minang diinternalisasi oleh ancaman-ancaman halus kalau sampai menikah dengan orang dari suku lain. Eh, jangan nikah dengan orang Banten ya, katanya orang Banten santetnya kuat dan kamu pasti lupa sama leluhurmu. Ih, nikah sama orang Kalimantan? serem sekali, dukun Kalimantan kan sakti dan kau pasti akan diikat terus di rumah oleh mertuamu. 

Saya merenungi segala bentuk produk konstruksi sosial ini. Dalam tulisan ini, mungkin tak banyak kasus yang diangkat. Tapi, akibat pola pikir semacam ini, di luar sana telah banyak korban konstruksi adat yang berjatuhan. Sebut saja, salah satu teman saya hingga sekarang belum mendapat restu dari orang tuanya karena berniat melamar gadis Jawa dambaan hatinya. Jika kita berkaca kembali pada falsafah adat "Adaik Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah", maka bukan kah perlakuan adat yang dihimpun dalam persepsi negatif ini merupakan hal yang kontradiktif dengan anjuran agama untuk menyegerakan pernikahan jika kedua pihak telah sama-sama siap?

Entahlah, mungkin kita lupa. Adat pada dasarnya diciptakan oleh manusia. Manusia tentunya tak luput dari cacat persepsi dan tata pikir. Jika itu terlalu diagung-agungkan hingga menjadi prinsip absolut sebuah kebenaran, rasanya masyarakat terlalu lebay dalam menafsirkan kebenaran dan standar norma. Apalagi jika itu justru mengikis nilai kebenaran universal hak asasi pilihan atau bahkan kebenaran agama. 

Negeri ini memang menghimpun adat dan suku yang berbeda, tapi kita sama-sama pesimis menilai kedigdayaan satu sama lain. 



Renungan Nyepi, 

31 Maret 2014