Merasakan Ramadhan ala Amerika
Bulan suci ramadhan memang tidak disambut sehangat di negeri kita, tapi setidaknya batin saya terus berucap syukur bahwa masa-masa untuk menanam amal bisa saya hadapi di negeri yang jauh dari orang tua, dan disinilah saya nantinya akan mengukur kesanggupan saya menghadapi tantangan di negeri Paman Sam ini. Di sekolah, saya tetap menjalankan aktifitas seperti biasa, tidak ada dispensasi bagi yang berpuasa, ya karena hanya saya sendiri yang Muslim di sini. Saat jadwal makan siang, saya pergi ke pustaka, menghabiskan waktu sekitar 20 menit membuka internet dan kadang sempat membalas email. Kemudian kami pulang pukul 15.05, untung sekarang saya sudah pulang naik bus, jadi tidak begitu lelah layaknya jalan kaki dari sekolah ke rumah yang berjarak sekitar 1 km. Pertama kali menginjakkan kaki di sini, awalnya saya khawatir merasa sendiri di lingkungan non muslim dan tidak ada orang islam sama sekali, itu artinya saya akan melewati ramadhan tanpa tarawih berjamaah dan Idul fitri yang sepi. Namun, kecemasan saya tidak bisa mendapat relasi sesama muslim di sini hilang sudah. Buktinya sekarang saya sudah aktif mengikuti kegiatan di Islamic Society of Columbus, Indiana. Saya menghadiri pertemuan yang kami sebut halaqah setiap hari sabtu. Dimana anggota halaqah akan mendengar CD yang berisi ceramah oleh dosen dan setelah itu kami berdiskusi.
Hari sabtu kemarin, tanggal 15 September sekitar pukul 20.00, organisasi islam yang saya temukan melalui situs Islamic finder yang berjarak sekitar 20 mil dari kota saya North Vernon ini, mengadakan potluck untuk buka bersama, mereka menyebutnya Ifthar, maklum mayoritas anggota Islamic Center di sini berasal dari Semenanjung Arabia dan Afrika utara. Sekitar pukul 19.25 , Joan ibu angkat saya berbaik hati mengantarkan ke Columbus, lokasi buka bersama. Kami membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit untuk menjangkau lokasi Islamic Center. Matahari sudah mulai merona merah , tandanya waktu berbuka semakin dekat. Saya melangkah masuk bersama Joan menuju gedung “United Way” berbatu bata merah, seorang lelaki berperawakan afrika menuntun kami menuju ruang pertemuan, hanya berjarak dua blok dari pintu utama kami sudah dapat menyaksikan suasana yang begitu mengagumkan. Joan saya antar menuju Maha, pembina saya di Halaqah, beliau hanya ingin memastikan bahwa saya akan diantar pulang nanti malam setelah sholat tarawih. Kemudian, setelah Joan undur diri, Maha memperkenalkan saya ke berbagai undangan. Terlihat begitu indahnya ukhuwah islamiyah sesama muslim, mekipun kami berasal dari latar belakang yang berbeda, ada yang dari India dengan sari dan bindinya, ada yang dari sudan dengan bahasa arabnya dan ada yang dari Pakistan dengan bahasa urdunya serta dari Senegal dan negara lainnya. Saya merasa haru, baru kali ini saya terlibat dengan pertemuan luar biasa ini, membayangkan betapa jauhnya negeri kita masing-masing dan sungguh nimat bersenda gurau, berbagi cerita dan pengalaman dengan satu bahasa, bahasa inggris. Dan yang lebih renyah lagi yaitu, kami tetap mempertahankan aksen bahasa ibu masing-masing. Jadi bisa dilihat keragaman dan warna yang indah berpadu dalam satu wadah, yaitu islam. Ngomong-ngomong, saya lah yang paling muda di kalangan mereka, dan menyusul Hein dari Sudan yang berumur 23 tahun, baru menyelesaikan kuliahnya di Michigan dan sekarang masih mencari kerja. Sebenarnya ada keluarga yang berasal dari Iraq punya dua orang anak yang masih berumur 11 dan 13 tahun, tapi mereka berhalangan hadir. Makanya, saya merasa terlindungi, berada di lingkungan orang-orang dewasa yang berpikiran luas dan bisa memberi jalan keluar di kala saya mengalami kendala.
Kemudian, waktu menunjukkan pukul 8.00, saatnya Ifthar, hidangan pertama adalah kurma tanpa air minum, tapi kami sebenarnya tidak merasa dahaga berpuasa di sini karena suhu cukup dingin di musim gugur. Setelah menamatkan dua biji kurma paling banyak, kami menuju lokasi sholat di ruang lain di gedung yang sama. Bulu kuduk saya merinding saat imam melafazkan bacaan sholat, mengingatkan saya kepada suasana ramadhan di kampung halaman yang terasa menjalar ke selubung memori. Aksen arab imamnya sungguh terasa, seperti itu jugakah saat umat muslim naik haji? Wallahualam!
Acara dilanjutkan setelah sholat maghrib dengan makan bersama di ruang utama kami berbuka tadi. Hidangannya didominasi oleh nasi, sungguh saya merasa bahagia sekali bisa berhadapan dengan nasi setelah demikian lama tidak mencicipi nasi ala asia. Meskipun orang tua angkat lumayan sering memasak nasi, tapi saya tidak cukup berani mengambil sebanyak yang saya inginkan layaknya di negeri kita, masalahnya mereka hanya mengkonsumsi nasi hanya sebagai hidangan pelengkap. Nah, malam itulah saya kembali teringat kampung halaman, menikmati hidangan dengan santapan yang lezat dengan sebotol jus apel. Kami makan dengan santai, tidak perlu merasa terburu-buru untuk mengakhiri hidangan karena sholat Isha dimulai pukul 21.30. setelah waktu Isha masuk, semua kembali beranjak menuju ruang sholat dan disambung dengan sholat tarawih setelah Isha. Tarawih di sini tentu saja sama dengan negeri kita, berjumlah delapan rakaat dan tiga rakaat witir namun dilakukan dua-dua rakaat. Sementara itu, Imam di depan memegang Alquran, ini pemandangan baru bagi saya melihat Imam memegang Alquran saat sholat dan membacanya setelah Fatihah, katanya mereka punya target menyelesaikan satu juz setiap kali sholat tarawih. Di sela-sela tarawih, setelah rakaat keempat, salah seorang maju ke depan membacakan hadis arba’in sekitar dua buah hadis serta terjemahannya, tentu saja dalam bahasa inggris. Setelah itu, sholat tarawih dilanjutkan dengan Imam yang berbeda dan demikian juga sholat witir yang dipimpin oleh orang yang berlainan. Hingga akhirnya semua usai, waktu sudah pukul 22.45. Ahmed Eltayeb, vice President Islamic Center yang mengantar saya pulang. Beliau lelaki berperawakan Arab yang berasal dari Sudan namun lama hidup di Dubai, berkenan mengantar pulang ke rumah dan akhirnya kami sampai sekitar pukul 23.15. Joan dan Jerry masih belum tidur, saya tidak langsung menuju kamar , tapi bercerita dulu tentang pengalaman saya ke orang tua angkat di ruang keluarga tentang pengalaman pertama saya buka bersama di Amerika, menyenangkan sekali. Sebelum tidur, saya menyempatkan diri untuk menelpon orang tua di rumah , menanyakan keadaan setelah gempa dan mengucapkan selamat berpuasa, Ibu saya bahagia sekali saat saya menceritakan bahwa saya tadinya sholat tarawih berjamaah. Indahnya Ramadhan di Amerika!