'Politik
uang’ gencar dilakukan oleh partai-partai tertentu selama masa kampanye
menjelang Pemilu Legislatif 2014. Politik uang dilakukan untuk meraih dukungan
masyarakat dan diasumsikan menjadi katalisator perolehan suara di pemilu nanti.
Selama kampanye, beberapa partai terlihat memberikan uang kepada masyarakat
yang hadir serta menjanjikan pembagian sembako. Salah satu responden menyatakan
bahwa ia menerima Rp 30.000 saat megnhadiri kampanye Partai Demokrat. Praktik
‘politik uang’ tentunya secara hakiki telah menodai prinsip demokrasi di negeri
ini.
============
Praktik ‘politik uang’ telah menjadi hal yang lazim di
Indoensia dan selalu gencar dijalankan menjelang Pemilu Presiden, Pemilu
legislatif, maupun Pemilukada. Bentuknya pun beragam, bisa dalam bentuk uang
atau berupa janji-janji bantuan barang dan uang jika kandidat tersebut terpilih
di pemilu. Kenyataan ini adalah paradoks dari penyelenggaraan demokratisasi di
Indonesia. Di satu sisi penyelenggaraan pemilu merupakan instrumen untuk
memilih pemimpin secara demokratis, namun realita ‘politik uang’ telah menodai
misi suci perwujudan kedaulatan rakyat di negara ini.
Politik
uang mengimplikasikan bahwa para calon legislatif atau pun pemimpin yang akan
dipilih dalam Pemilu masih mempersepsikan aspirasi sebagai komoditi yang bisa
ditukar dengan uang. Maraknya praktik politik uang juga menunjukkan bawah
kandidat yang maju dalam pemilu tidak membekali diri dengan niat yang lurus
untuk menduduki jabatannya. Para kandidat berkompetisi dengan uang, bukan
berdasarkan track records dan
kualifikasinya. Mereka memandang politik sebagai sesuatu yang komersial dan
melihat pemilu sebagai langkah untuk melakukan penyelewengan kekuasaan dan
korupsi di masa depan. Mentalitas seperti ini lah yang akan merusak tatanan
pemerintahan kita di lima tahun ke depan. Sejauh ini, Badan Pengawal Pemilu
(Bawaslu) melaporkan beberapa partai yang terbukti melakukan pelanggaran aturan
terkait dengan politik uang yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar,
Partai Demokrat, PPP, dan Hanura.
Suap Uang, Anda Menang |
Mengapa
praktik buruk ini masih terjadi? Apa yang menyebabkan proses kampanye di
Indonesia belum mampu merefleksikan demokrasi yang sebenarnya? Pertama, kita
perlu melihat mindset dari kedua
belah pihak; mindset kandidat yang
maju dalam pemilu dan mindset masyarakat
terhadap kandidat. Politisi yang buruk melihat pemilu sebagai kesempatan yang
transaksional. ‘Saya beri anda uang, maka saya dapat suara’. Politisi semacam
ini tidak memiliki kedekatan dengan constituent
dan tidak memiliki basis masa di daerah pemilihan. Sehingga, satu-satunya
cara pragmatis yang bisa ia tempuh untuk mendapatkan perhatian masyarakat
adalah dengan memberikan uang supaya dipilih dalam pemilu.
Di sisi
lain, praktik politik uang dipahami sebagai hal yang lumrah bagi masyarakat
kita. Survey menunjukkan, dari 1.200
orang yang diwawancarai di 10 wilayah yang berbeda diketahui 71% menilai
politik uang dianggap normal. Sementara 67% responden permisif terhadap praktik
ini. Saya menilai distorsi persepsi ini muncul karena faktor ekonomi.
Kebanyakan pemilih berasal dari kelompok menengah ke bawah. Sehingga, kampanye
dengan politik uang dianggap sebagai kesempatan yang menggiurkan untuk
mendapatkan uang yang bisa dipakai sebagai pemenuhan kebutuhan pokok dalam
jangka pendek.
Dari
analisis ini kita bisa melihat bahwa kesalahan berasal dari kedua belah pihak,
yaitu politisi yang menjadi kandidat pemilu dan masyarakat yang permisif
terhadap pelanggaran politik uang ini. Oleh karena itu, untuk membendung
terjadinya pelanggaran yang lebih masif, Badan Pengawas Pemilu serta aparat
penegak hukum perlu bertindak tegas untuk menghukum kandidat yang terbukti
melakukan politik uang.
AWASI DAN LAPORKAN!!!!