Saya sedang mempersiapkan sebuah tulisan yang serius, tapi ga kunjung kelar karena kelamaan mikir. haha. Namun, saya udah kangen bercerita di blog ini, rasanya ga adil kalau waktu saya begitu lama tercurah untuk tulisan yang satu itu. Baiklah, saya hanya akan menceritakan hal-hal yang ringan saja. Hal-hal printilan yang masih saya ingat di tengah kesibukan setiap individu di muka bumi, termasuk kasak kusuk di Sekdilu 38.
Tentang Penantian
Semakin ke sini, saya semakin belajar banyak untuk menjadi seseorang yang legowo. Bukan karena di diklat saya memilih kelas 'kepribadian dan kesabaran diri' atau ikut kursus serupa di luar sana :) namun karena diklat Kemlu menawarkan banyak hal yang senantiasa membuat saya bersyukur; bersyukur karena telah menerima informasi dan ilmu yang tak terkira dan saya sukai serta berjumpa secara langsung dengan orang-orang hebat di negeri ini. Kesempatan-kesempatan seperti ini sungguh tak ternilai harganya. Ingin saya berbagi, tentang bagaimana rasanya diberi kuliah oleh Menteri Marty Natalegawa, berfoto bersama Bapak Hasjim Djalal, mendengar langsung celoteh Bapak Dino Patti Djalal, hingga para Duta Besar asing, dan pejabat tinggi dari PBB, selain kurang etis tentunya kalau ditulis satu-persatu tentunya blog ini ga akan selesai-selesai, hehe. Bagi yang mau bertanya secara langsung, silahkan..berhubung saya menyimpan catatan-catatan selama kelas yang terkait dengan hal substansi :)
Satu hal yang bisa saya gambarkan dari serangkaian pertemuan dengan orang-orang hebat di atas, kami diajarkan untuk bersabar dan menjadi pribadi yang baik kepada sesama. Mereka adalah pemuda-pemuda cupu di zamannya, seperti kita-kita ini. Berbekal keingintahuan dan pengabdian tulus, mereka berhasil melangkahi jenjang kesulitan dan tantangan dalam hidup. Siapa sangka Dubes Hasjim Djalal, pria baya yang membuat saya kagum setengah mati, adalah anak petani dari desa di Bukit Tinggi. Berkat keteguhan dan ketulusan hatinya, ia berhasil membanggakan Indonesia dalam negosiasi panjang di forum internasional. Berkait beliau, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) bisa tercapai, hingga akhirnya kita bisa punya Laut Wilayah dan menikmati otoritas di dalamnya. Atas jasa urang darek (orang pegunungan) ini, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia.
Saya bisa membayangkan Teluk Bayur yang menjadi saksi bisu kala itu, melepas lelaki kecil dari ranah minang menuju tanah Jawa. Laki-laki itu tak pernah mengeluh, tatapannya jauh menyingsing samudera Hindia menembus Afrika dan Madagaskar. Mungkin ia lupa akan bulir-bulir peluh yang membasahinya di terik panas yang merangsek ke dalam kapal. Hanya satu yang ia hujamkan, ia ingin bermakna. Pun begitu halnya dengan Bapak Marty Natalegawa, meski ia enggan membahas silam dan diri, tapi kami kagum akan kerja kerasnya menggapai karir tercepat dalam sejarah Kementerian Luar Negeri. Cita-citanya hanya satu sedari kecil, yaitu menjadi wakil negara ini di tingkat internasional. Apa yang ia harapkan pun terwujud, dan bahkan melampaui apa yang ia bayangkan.
Saya bisa membayangkan, Marty muda disuruh-suruh mengangkat kursi sewaktu Jakarta Informal Meeting dua dekade silam di Kota Bogor pada pukul 4 pagi. Saya tentu sanggup pula turut merasa sedih, ketika diceritakan teman bahwa Marty muda memetik buah demi menyelesaikan pendidikan S3nya di negeri orang. Pun, saya turut menangis di dalam hati saat seorang anak tukang becak dibelikan jas oleh pejabat Kemlu karena tidak berduit. Lantas, siapa saya yang berhak untuk mengeluh? saya belum menjadi siapa-siapa.
Teman-teman perlu tahu, apa-apa yang dipublish, memang terlihat mewah dan menyenangkan. Namun, mengalami Sekdilu secara langsung adalah hal yang berbeda dengan sajian pengalaman yang tak terduga dan membludak :) Saya mencintai ini, mencintai realita dan tantangan, meski tak terlepas dari erangan batin yang hanya bisa dipahami oleh pribadi dalam proses pendewasaan. Sebut saja misalnya penantian, penantian panjang untuk menjadi sukses adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang saya sebutkan di atas, hanya yang sabar dan tulus lah yang mampu bertahan di tempat ini.
Sementara kami, kami sering resah menanti hasil-hasil yang tentunya pasti akan kami petik pada waktunya. Kadang memang ketidakpastian itu membunuh, tapi lagi-lagi kami diajarkan untuk menahan diri dan berekspresi secara sopan. Lagi-lagi, meski kadang getir, tapi saya mulai mencintai kondisi ini. Legowo. Kami gelisah menanti stipend atau rapel yang agak lama turun, hal ini mengajarkan kami untuk berhemat dan menghargai dependensi pada keluarga ataupun pasangan. Kami resah menanti hasil ujian semester dua, hal ini mengajarkan kami untuk menjadi lebih baik di masa depan. Kami pernah marah menghadapi karakter-karakter baru dan unik di sini, hal ini mengajarkan kami bahwa ini hanya milieu kecil dari tantangan dan ranah global yang kami hadapi di masa depan. Legowo sepertinya mulai merasuk ke jiwa raga kami.
Sepertinya benar apa yang dinyatakan oleh Bapak Makmur Keliat (dosen HI UI) melalui asistennya (teman saya sendiri, Agus Catur), bahwa orang-orang yang lulus seleksi Kemlu adalah orang yang bisa dibentuk. Pada awalnya saya mengernyitkan jidat, seperti apakah definisi "karakter yang bisa dibentuk"? lantas dibentuk menjadi seperti apakah? Lama-lama, proses memang selalu bisa menjawab pertanyaan orang tak berpengalaman. Saya menemukan jawaban-jawaban dari serangkaian pertanyaan saya mengenai karakter orang-orang yang dipilih di sini. Baik dengan mengamati para tokoh yang pernah menjadi dosen kami, atau dengan menatap keseharian di lingkungan diklat. Hah, saya mulai melantur, hehe.
Tentang Masa Depan
Pernah mendengar "contract with devils"? Sekali anda menandatangani kontrak, anda tidak bisa menarik kembali poin-poin yang telah anda sepakati. Begitu pula halnya dengan bekerja menjadi PNS atau diplomat di Kemlu, kecuali jika anda resign ya, hehe. Kami selalu diwanti-wanti bahwa diplomat adalah status yang melekat pada diri pejabat diplomatik. Semuanya diatur, mulai dari berbusana di hari kerja hingga akhir pekan, bahkan hal-hal menyangkut ranah personal seperti pilihan pasangan hidup juga diatur di tempat ini. Alas, kami tidak bisa lari dari sini, ini adalah rumah kami, at least rumah baru kami.
Am I happy with that? Pada awalnya, saya shock. Saya sempat meninggalkan pekerjaan di pemerintahan karena alasan-alasan birokratis ini, namun akhirnya saya rindu. Saya rindu untuk bekerja pada sektor publik yang selama ini menjadi passion saya (aiks!). Saya telah mendeklarasikan pilihan hati saya tepat pada saat saya diwawancarai, dan saya harus bisa mempertanggungjawabkan itu. Maka dari itu, saya harus siap menghadapi masa depan dengan segala konsekuensi-konsekuensi yang saya sadari. Lagi-lagi termasuk mengenai pasangan hidup, hehehe.
ps. mengenai pasangan hidup, saya janji akan bahas di tulisan yang lebih serius itu :)
Waktu yang Tersisa
Mungkin sikap legowo pula lah yang telah mengantarkan kami secara utuh memasuki semester dua di diklat Kemlu ini, yay! Saya berharap angkatan ini akan tetap utuh hingga maut memisahkan kita, amin!
Kami memiliki cara-cara sendiri untuk meredakan ketegangan, menyembuhkan kegetiran, serta menghapus kebosanan. Percayalah, hidup di asrama punya cerita masing-masing. Meski saya bukan tipikal anak yang beredar ke seluruh pelosok asrama, namun saya memiliki cerita indah di pojok terluar asrama Kemlu, yaitu Raflesia II. Di waktu yang tersisa ini, saya sadar sedalam-dalamnya, serpihan cerita di asrama yang penuh dinamika ini akan sangat dirindukan dan senantiasa dikenang hingga pensiun nanti (amin). Di waktu yang tersisa ini pula, saya semakin merindukan cerita-cerita unik dari dosen yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Mungkin langkah kaki kami mulai lunglai menuju kelas C atau kelas gabungan A&B di lantai 2 itu, tapi saya tak pernah letih menghitung hari yang tersisa dan bersiap untuk mendekap rasa rindu yang membuncah nantinya.
Pada semester dua ini, kami telah dipertemukan dengan Duta Besar Pembina. Setiap Dubes menjadi pembina untuk tujuh anak. Kemarin, saya berjumpa dengan Dubes Pembina saya, Bapak Adian Silalahi. Hanya setengah dari porsi perbincangan kami dialokasikan untuk membahas taskap, sisanya kami lagi-lagi disodorkan cerita tentang legowo. Saya memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah Bapak bahagia menjadi diplomat?" Beliau tertawa kemudian menawarkan 7S kepada kami (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun, Sigap, dan Silalahi) sebagai jurus jitu untuk bertahan di Kemlu :). "Boleh lah kalau saya mengganti Silalahi dengan Sikumbang?", beliau tertawa menyikapi pertanyaan saya. Percakapan itu, memang hanya berlangsung di meja kecil dalam durasi 2,5 jam. Tapi, adalah legowo yang mengantarkan Dubes Adian Silalahi menuju meja itu, menjadi pembina kami dan dikenang hingga masa-masa pensiunnya.
Di waktu yang tersisa ini, saya hanya memiliki waktu 1,5 bulan untuk menyelesaikan taskap. Sisanya, kami akan menghadapi kegiatan aplikatif, tidak di kelas lagi. Kami akan magang di Direktorat Protokol dan Konsuler di Pejambon, dan jika ada rezeki (legowo-red), kami juga akan magang di beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri. Yak, saya akan merindukan kenangan manis di Sekdilu dan menyimpan kekebalan terhadap getir sebagai bekal untuk menyongsong masa depan.
Ramadhan hari ke-7
Depok